Khazanah
Beranda » Berita » Abu Yazīd al-Bisṭāmī: Misteri Ma‘rifat dan Ungkapan Ekstatisnya

Abu Yazīd al-Bisṭāmī: Misteri Ma‘rifat dan Ungkapan Ekstatisnya

Abu Yazid al-Bistami dalam pencarian ma‘rifat
Ilustrasi sufi yang sedang duduk dalam keheningan, menatap ke langit malam, simbol pencarian ma‘rifat dan keabadian.

Surau.co. Ada sesuatu yang tak mudah dijelaskan dengan kata. Abu Yazid al-Bistami, seorang tokoh sufi agung yang tercatat dalam Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ karya Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī, menyingkapkan dimensi batin yang mengguncang logika. Dari awal kehidupannya yang sederhana hingga perjalanan ruhani penuh keberanian, ia membawa kita pada pengembaraan menuju ma‘rifat, pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Misteri hidupnya bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi cermin bagi manusia Indonesia hari ini yang kerap tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia dan lupa merenung ke dalam diri.

Menemukan Cermin Jiwa dalam Hiruk Pikuk Kehidupan

Di tengah kota-kota besar Indonesia, manusia berlari mengejar kesuksesan. Namun, seringkali yang hilang adalah ruang sunyi untuk menyapa jiwa. Al-Bisṭāmī seakan berbisik, introspeksi bukan kelemahan, tetapi kekuatan terdalam. Ia mengajarkan bahwa langkah menuju ma‘rifat bukanlah melalui penumpukan harta, melainkan keberanian menatap diri. Sebagaimana ia berkata dalam ungkapan yang dicatat Abū Nu‘aym:

«مَا زِلْتُ أَسُوقُ نَفْسِي إِلَى اللهِ وَهِيَ تَبْكِي، فَلَمَّا وَافَقَتْهُ سَرَّتْ»
“Aku terus menyeret diriku menuju Allah sementara ia menangis, hingga ketika ia bertemu-Nya, ia pun bergembira.”

Kutipan ini menegaskan bahwa jiwa manusia butuh dididik, bahkan dipaksa, agar menemukan kebahagiaan sejati.

Ungkapan Ekstatis dan Misteri Ma‘rifat

Al-Bisṭāmī dikenal dengan syathahāt, ungkapan-ungkapan ekstatis yang lahir dari kedalaman pengalaman spiritual. Bagi sebagian orang, ucapannya terasa mengguncang batas nalar. Namun, di balik itu tersembunyi kerinduan mendalam pada Yang Maha Kuasa. Ia berkata dalam kitab tersebut:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

«خَرَجْتُ مِنَ الدُّنْيَا وَنَفْسِي كَخُرُوجِ السَّلْخِ مِنَ اللَّحْمِ»
“Aku keluar dari dunia dan dari diriku sendiri, bagaikan keluarnya kulit dari daging.”

Kalimat ini menggambarkan keterlepasan total dari keterikatan duniawi. Bukankah ini relevan dengan fenomena sosial kita? Banyak orang terjebak dalam pencitraan media sosial, lupa bahwa kebahagiaan sejati lahir dari kebebasan batin, bukan dari sorakan pengikut maya.

Kesadaran Sosial dalam Ajaran Spiritual

Meski hidup berabad-abad lalu, pesan al-Bisṭāmī tetap hidup. Ia mengingatkan kita untuk merangkul manusia, bukan menyingkirkan mereka. Di Indonesia, masyarakat kerap dihadapkan pada polarisasi sosial, politik, dan agama. Namun, spiritualitas sejati selalu menumbuhkan kasih. Sebagaimana ia ucapkan:

«مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلَّا رَأَيْتُ اللهَ فِيهِ»
“Aku tidak melihat sesuatu pun melainkan aku melihat Allah di dalamnya.”

Ungkapan ini bukan sekadar metafora, melainkan ajakan agar manusia memandang dunia dengan mata kasih. Jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, mungkin konflik sosial akan berkurang, karena setiap makhluk dipandang sebagai refleksi Sang Pencipta.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Jalan Ma‘rifat: Dari Hati Menuju Keabadian

Dalam Hilyat al-Awliyā’, disebutkan bagaimana al-Bisṭāmī berani melampaui batas rasa takutnya terhadap diri sendiri. Ia mengajarkan bahwa perjalanan menuju Allah bukan sekadar ibadah lahir, melainkan pembebasan batin.

«طَلَبْتُ اللهَ فَوَجَدْتُ نَفْسِي، وَطَلَبْتُ نَفْسِي فَوَجَدْتُ اللهَ»
“Aku mencari Allah, lalu kutemukan diriku. Aku mencari diriku, lalu kutemukan Allah.”

Kalimat ini adalah pelajaran agung: pencarian spiritual bukanlah lari dari diri, melainkan perjalanan pulang. Dalam konteks masyarakat kita, introspeksi bisa menjadi kunci memperbaiki kerusakan sosial, mulai dari korupsi hingga krisis lingkungan.

Renungan untuk Manusia Modern

Di jalanan Jakarta, Surabaya, atau Medan, orang-orang sibuk mengejar rezeki. Namun, apa arti keberlimpahan tanpa kedamaian batin? Al-Bisṭāmī mengajarkan bahwa ma‘rifat adalah oase di tengah kehausan modernitas. Ia mengingatkan bahwa manusia bukan hanya tubuh yang lapar, melainkan jiwa yang rindu pulang.

Jika Indonesia ingin tumbuh tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga spiritual, maka warisan al-Bisṭāmī bisa menjadi cermin. Ia mengajak kita untuk berani melampaui batas, bukan dalam kesombongan, tetapi dalam kerendahan hati menuju Allah.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement