Khazanah
Beranda » Berita » Al-Muḥāsibī: Ulama Sufi yang Mengajarkan Introspeksi Diri (Muḥāsabah)

Al-Muḥāsibī: Ulama Sufi yang Mengajarkan Introspeksi Diri (Muḥāsabah)

Al-Muḥāsibī ulama sufi muḥāsabah
Ilustrasi ulama sufi Baghdad yang dikenal sebagai guru muḥāsabah, duduk dalam keheningan malam dengan cahaya sederhana.

Surau.co. Al-Muḥāsibī Ulama Sufi – dikenal sebagai salah satu ulama besar dalam tradisi tasawuf yang menekankan pentingnya muḥāsabah, yakni introspeksi diri yang mendalam. Dalam Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ karya Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī, ia digambarkan sebagai seorang yang tidak hanya alim dalam ilmu syariat, tetapi juga halus dalam rasa batin. Nama aslinya adalah al-Ḥārith bin Asad al-Muḥāsibī, seorang yang hidup di Baghdad, pusat ilmu dan kebudayaan pada abad ke-3 H.

Kisah hidupnya tidak hanya relevan untuk dunia sufi, tetapi juga untuk kehidupan kita hari ini di Indonesia, ketika banyak orang merasa terhimpit oleh gelombang informasi, persaingan, dan kegelisahan batin. Muḥāsabah menjadi jalan untuk menemukan kembali keseimbangan diri.

Menyelami Makna Muḥāsabah dalam Kehidupan

Al-Muḥāsibī disebut demikian karena ia sangat sering melakukan perhitungan terhadap dirinya sendiri. Ia tidak pernah membiarkan satu detik pun berlalu tanpa mengukur sejauh mana hatinya ikhlas kepada Allah. Dalam Hilyat al-Awliyā’, Abū Nu‘aym meriwayatkan perkataannya:

«مَنْ لَمْ يُحَاسِبْ نَفْسَهُ كُلَّ يَوْمٍ فَلَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْعِبْرَةِ»
“Barangsiapa yang tidak menghisab dirinya setiap hari, maka ia bukanlah termasuk orang yang mengambil pelajaran.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Pelajaran ini seolah mengetuk pintu hati kita. Dalam kehidupan modern, sering kita hitung pemasukan dan pengeluaran materi, tetapi lupa menghitung amal baik dan salah yang kita lakukan.

Cermin untuk Masyarakat Indonesia

Fenomena sosial di Indonesia memperlihatkan banyak orang sibuk mengejar kesuksesan dunia. Dari hiruk pikuk kota besar hingga perbincangan hangat di warung kopi desa, orang berbicara soal pekerjaan, investasi, dan target-target duniawi. Namun, jarang yang meluangkan waktu untuk berhenti sejenak, duduk, dan bertanya: sudahkah aku adil terhadap diriku sendiri dan orang lain?

Al-Muḥāsibī menegaskan pentingnya keadilan batin. Dalam Hilyat al-Awliyā’ ia berkata:

«العَدْلُ فِي القَلْبِ أَنْ تَضَعَ كُلَّ شَيْءٍ مَوْضِعَهُ»
“Keadilan dalam hati adalah ketika engkau menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.”

Kalimat ini mengajarkan keseimbangan. Jika masyarakat menempatkan dunia di tangan dan bukan di hati, maka kesejahteraan batin akan tercapai.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Al-Qur’an dan Seruan Introspeksi

Al-Qur’an juga menekankan pentingnya muḥāsabah. Allah berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Ḥashr: 18)

Ayat ini menjadi dasar spiritualitas al-Muḥāsibī. Ia menegaskan bahwa setiap amal akan dimintai pertanggungjawaban. Muḥāsabah bukan sekadar renungan, tetapi jalan menuju kesiapan menghadapi kehidupan akhirat.

Jalan Sunyi Seorang Sufi

Dalam catatan Abū Nu‘aym, al-Muḥāsibī dikenal bukan hanya karena ilmu dan zuhudnya, tetapi juga kesungguhan dalam menjaga hati. Ia tidak suka mencari popularitas, bahkan sering menghindari keramaian. Salah satu ucapannya yang terkenal adalah:

«إِذَا صَحَّ القَلْبُ لَمْ يَضُرَّهُ قِلَّةُ العَمَلِ»
“Apabila hati telah benar, maka sedikit amal tidak akan membahayakan.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Perkataan ini menekankan bahwa kualitas amal lebih penting daripada kuantitasnya. Dalam kehidupan kita, sering amal besar dilakukan karena ingin dipuji, sementara amal kecil dengan niat ikhlas justru lebih bernilai di sisi Allah.

Menyemai Introspeksi dalam Kehidupan Modern

Dalam konteks Indonesia hari ini, introspeksi diri bisa menjadi solusi atas banyak masalah sosial. Korupsi, kekerasan, hingga keretakan keluarga sering muncul karena manusia lupa bercermin. Bila setiap orang mau bertanya kepada dirinya: apakah ini membawa kebaikan atau kerusakan?, maka kehidupan akan lebih damai.

Seperti kata al-Muḥāsibī dalam Hilyat al-Awliyā’:

«المُحَاسَبَةُ مِفْتَاحُ الرَّحْمَةِ»
“Muḥāsabah adalah kunci rahmat.”

Kata-kata ini menjadi pengingat, bahwa introspeksi membuka pintu kasih sayang Allah.

Jalan Sunyi yang Menyinari Dunia

Al-Muḥāsibī tidak sekadar berbicara, ia menjalani hidupnya dengan penuh pengendalian diri. Ia menolak hidup mewah, ia memilih jalan sederhana, namun penuh cahaya. Di tengah gelombang dunia yang menggoda, ia menjadi bintang penunjuk arah bagi para muridnya, termasuk tokoh-tokoh sufi besar setelahnya.

Bagi kita, pelajaran al-Muḥāsibī adalah tentang keberanian menghadapi diri sendiri. Tidak mudah mengakui kesalahan, lebih sulit lagi memperbaikinya. Tetapi dari sanalah lahir kebersihan hati dan ketenangan jiwa.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement