Surau.co. Bishr al-Ḥāfī dikenal dalam sejarah tasawuf sebagai pemuda kaya raya Baghdad yang memilih meninggalkan gemerlap dunia untuk berjalan di jalan zuhud. Dalam Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ karya Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī, kisahnya ditulis dengan penuh makna: seorang pemuda yang tadinya hidup mewah, tiba-tiba menemukan cahaya Allah melalui sebuah kejadian kecil yang mengguncang hatinya. Ia memilih jalan kesederhanaan, dan sejak itu namanya harum hingga kini.
Fenomena ini terasa dekat dengan kehidupan sosial di Indonesia. Banyak anak muda yang tergoda oleh harta, popularitas, dan kesenangan sesaat. Namun, kisah Bishr mengingatkan kita bahwa kekayaan tidak selalu membawa ketenangan, justru bisa menjadi beban bila hati tidak terikat dengan Allah.
Titik Balik yang Mengubah Segalanya
Dalam riwayat, Bishr pernah hidup bergelimang pesta. Suatu malam, rumahnya dipenuhi suara musik dan tawa. Tetapi saat ia keluar, ia menemukan sehelai kertas bertuliskan nama Allah. Dengan penuh hormat, ia memungut kertas itu, membersihkannya, lalu meletakkannya di tempat terhormat. Dari peristiwa sederhana itu, Allah menanamkan cahaya hidayah di hatinya.
Abū Nu‘aym meriwayatkan dalam Hilyat al-Awliyā’:
«فَأَكْرَمَ بِشْرٌ الاِسْمَ، فَأَكْرَمَهُ اللهُ بِهِ»
“Bishr memuliakan nama Allah, maka Allah pun memuliakannya dengan nama-Nya.”
Sejak saat itu, hidupnya berubah. Ia berjalan tanpa alas kaki sebagai tanda kerendahan hati, sehingga dikenal dengan gelar al-Ḥāfī—si telanjang kaki.
Zuhud Bukan Menolak Dunia, Melainkan Menyadari Nilainya
Kisah Bishr mengajarkan bahwa zuhud bukanlah menolak keberadaan dunia, tetapi meletakkan dunia di tempat yang semestinya. Dalam kehidupan Indonesia modern, orang sering mengejar harta seakan itu tujuan utama. Namun, al-Qur’an mengingatkan:
﴿وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ﴾
“Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran: 185)
Kesadaran inilah yang menjadikan Bishr teguh dalam hidup sederhana, meskipun ia bisa saja tetap hidup dalam kemewahan.
Jalan Kesederhanaan di Tengah Masyarakat Kaya
Bishr hidup di Baghdad, pusat peradaban Islam kala itu. Banyak orang sibuk dengan perdagangan, politik, dan hiburan. Namun ia memilih jalan sunyi, jalan zuhud. Abū Nu‘aym menulis dalam Hilyat al-Awliyā’:
«إِذَا قَنِعَ الإِنْسَانُ بِمَا يَكْفِيهِ اسْتَغْنَى»
“Apabila manusia merasa cukup dengan apa yang mencukupinya, maka ia menjadi kaya.”
Pesan ini terasa relevan di Indonesia hari ini. Banyak orang mengejar lebih dan lebih, namun tetap merasa kurang. Zuhud mengajarkan rasa cukup, dan dari situlah lahir ketenangan.
Spiritualitas yang Membumi
Bishr bukan hanya seorang zahid yang bersembunyi dari masyarakat. Ia juga menjadi guru bagi banyak orang. Murid-muridnya mengambil hikmah dari kesederhanaannya. Dalam Hilyat al-Awliyā’ disebutkan perkataannya:
«مَا أَحْسَنَ التَّوَاضُعَ يَزِينُ أَهْلَهُ كَمَا يُزِينُ التِّيجَانُ الرُّؤُوسَ»
“Alangkah indahnya tawadhu’, ia menghiasi pemiliknya sebagaimana mahkota menghiasi kepala.”
Tawadhu’ inilah yang membuat Bishr dicintai. Ia tidak menghakimi orang kaya, tidak pula merendahkan orang miskin, tetapi menampilkan wajah kebaikan yang penuh cahaya.
Menghubungkan Kisah Bishr dengan Kehidupan Kita
Kisah Bishr bisa kita tarik ke kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Banyak yang kaya namun gelisah, banyak yang miskin namun tetap sabar. Jalan Bishr memberi teladan: bukan berapa harta yang kita miliki, tetapi bagaimana kita menempatkan harta itu dalam hati.
Dalam sebuah syair, jalaludin rumi pernah menulis bahwa kemewahan ibarat bayangan; ia akan pergi saat matahari terbenam. Demikian pula Bishr, ia tidak mengejar bayangan, tetapi mencari matahari hakiki—cahaya Allah.
Refleksi untuk Kehidupan Modern
Jika kita merenungi hidup Bishr, kita belajar bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil. Memungut selembar kertas bertuliskan nama Allah menjadikan dirinya mulia. Dalam hidup sehari-hari, kita pun bisa menemukan momen sederhana untuk kembali pada Allah: senyuman kepada tetangga, menahan amarah, atau memberi sedekah kecil.
Kisah Bishr adalah pengingat bahwa kesederhanaan adalah kekuatan, dan kerendahan hati adalah mahkota.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
