Khazanah
Beranda » Berita » Sirri al-Saqaṭī: Guru al-Junayd dan Penjaga Warisan Zuhud

Sirri al-Saqaṭī: Guru al-Junayd dan Penjaga Warisan Zuhud

Sirri al-Saqaṭī sufi zuhud Baghdad
Ilustrasi Sirri al-Saqaṭī dalam keheningan malam, simbol kesederhanaan dan doa tanpa henti.

Surau.co. Di antara permata yang bercahaya dalam kitab Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ karya Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī, nama Sirri al-Saqaṭī menjadi sebuah pintu menuju dunia yang dipenuhi aroma kesunyian, kelembutan hati, dan kejernihan jiwa. Ia bukan sekadar seorang sufi, tetapi guru agung yang membentuk pribadi al-Junayd al-Baghdādī, yang kelak dijuluki Sayyid al-Ṭā’ifah. Keteladanannya membisikkan pesan: bahwa zuhud bukan sekadar meninggalkan dunia, melainkan menata hati agar dunia tidak lagi menawan kita. Dalam kisahnya, kita melihat sosok yang sederhana namun penuh dengan kekayaan batin, sosok yang menjadi telaga tenang di tengah hiruk pikuk zaman.

Jalan Kesunyian di Tengah Riuh Dunia

Di kota besar seperti Baghdad pada masanya, pasar, politik, dan kekuasaan selalu menggoda hati manusia. Namun Sirri al-Saqaṭī memilih jalan sunyi, jauh dari riuhnya kekuasaan. Kehidupan zuhudnya mirip dengan sebagian orang Indonesia yang lebih memilih kesederhanaan meski hidup di kota besar. Ada sebagian pedagang kecil di pasar tradisional yang menolak riba, ada petani di desa yang masih menolak merusak alam demi keuntungan instan. Mereka adalah cermin kehidupan zuhud di era modern, meski seringkali tak disadari.

Sirri al-Saqaṭī pernah berkata sebagaimana dicatat dalam Hilyat al-Awliyā’:

«مَا أَحَبَّ الدُّنْيَا أَحَدٌ إِلَّا خَسِرَ مِنَ الْآخِرَةِ مِثْلَهُ»
“Tidaklah seseorang mencintai dunia, kecuali ia akan kehilangan bagian dari akhirat sebesar itu pula.”

Kata-kata ini adalah cambuk lembut bagi hati kita yang sering terpaut pada gemerlap harta.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kehidupan Zuhud Sebagai Jalan Cinta

Zuhud bagi Sirri bukanlah kebencian pada dunia, melainkan cara mencintai Allah tanpa sekutu. Baginya, cinta kepada Allah harus lebih besar daripada cinta kepada gemerlap dunia. Dalam kitab disebutkan:

«الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا رَاحَةُ الْقَلْبِ وَالْبَدَنِ»
“Zuhud dari dunia adalah ketenangan hati dan tubuh.”

Kalimat ini mengingatkan kita bahwa keserakahan selalu melahirkan kegelisahan, sementara kesederhanaan mendatangkan kebahagiaan. Betapa sering kita temukan di Indonesia, orang yang hidup cukup tetapi hatinya gelisah karena ingin lebih. Padahal, ada pedagang kaki lima yang meski penghasilannya kecil, ia bisa tidur nyenyak karena hatinya ikhlas.

Guru yang Melahirkan Guru Besar

Sirri al-Saqaṭī adalah guru bagi al-Junayd, sufi besar yang kemudian mengajarkan keseimbangan antara syariat dan hakikat. Dari Sirri, al-Junayd belajar kelembutan, kesabaran, dan kedalaman rasa. Hubungan guru-murid ini mencerminkan pentingnya sanad keilmuan. Sama seperti dalam tradisi pesantren di Indonesia, sanad bukan sekadar ilmu, melainkan cahaya yang menghubungkan hati dengan para wali Allah.

Dalam Hilyat al-Awliyā’, ia pernah ditanya tentang keikhlasan. Sirri menjawab dengan lirih:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

«الإِخْلَاصُ سِرٌّ بَيْنَ اللهِ وَبَيْنَ الْعَبْدِ، لَا يَعْلَمُهُ مَلَكٌ فَيَكْتُبُهُ، وَلَا شَيْطَانٌ فَيُفْسِدُهُ»
“Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya; tidak diketahui malaikat sehingga bisa mencatatnya, dan tidak diketahui setan sehingga bisa merusaknya.”

Ungkapan ini seperti cahaya di tengah gelap malam, mengingatkan kita bahwa amal hanya bernilai jika dilandasi niat yang murni.

Tangisan Malam dan Doa yang Tak Pernah Padam

Sirri dikenal sebagai seorang ahli ibadah yang gemar menangis di malam hari. Ia mengingat firman Allah:

﴿وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ﴾ (QS. al-Dzāriyāt: 18)
“Dan pada waktu sahur mereka memohon ampun.”

Ayat ini seakan menjadi nafas bagi Sirri, karena di keheningan malam, ia mendekap rahmat Allah dengan doa dan air mata. Dalam kehidupan kita, berapa banyak orang Indonesia yang di tengah kesibukan masih menyempatkan diri shalat tahajud, berdoa untuk anak-anaknya agar selamat, atau memohon agar dagangannya berkah? Kesalehan sunyi ini, meski tidak terlihat, adalah warisan para sufi yang masih hidup hingga kini.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Sirri sendiri pernah menuturkan:

«مَنْ لَمْ يَبْكِ فِي اللَّيْلِ عَلَى نَفْسِهِ لَمْ يَضْحَكْ كَثِيرًا فِي النَّهَارِ»
“Barangsiapa tidak menangisi dirinya di malam hari, ia akan banyak tertawa di siang hari.”

Kata-kata ini bukan larangan untuk bergembira, tetapi peringatan bahwa hati yang keras sulit merasakan kedalaman iman.

Relevansi Kehidupan Sirri di Indonesia Hari Ini

Di tengah masyarakat yang terjebak budaya konsumerisme, kisah Sirri al-Saqaṭī menjadi oase. Ia mengajarkan bahwa kekayaan bukanlah jumlah harta, tetapi ketenangan hati. Dalam konteks Indonesia, ajaran ini relevan untuk menghadapi gaya hidup hedonisme yang membuat banyak orang stres meski bergaji besar.

Ketika sebagian orang rela berhutang demi gaya hidup, Sirri seakan berbisik: kesederhanaan adalah kemewahan yang sesungguhnya. Ketika sebagian tokoh publik mengejar popularitas dengan menggadaikan nilai, Sirri mengingatkan bahwa keikhlasan lebih abadi daripada tepuk tangan manusia.

Penutup: Menjadi Murid dalam Kesunyian

Sirri al-Saqaṭī bukan hanya guru bagi al-Junayd, tetapi juga guru bagi hati kita hari ini. Ia mengajarkan bahwa doa di keheningan malam lebih bermakna daripada seribu tepuk tangan di siang hari. Ia mengajarkan bahwa zuhud bukan pelarian, melainkan kebebasan.

Di dalam hidup yang penuh hiruk pikuk, kita bisa memilih untuk menjadi murid Sirri: menjaga keikhlasan, merawat doa, dan mencintai Allah lebih dari segalanya. Dalam gema ajarannya, kita mendengar bisikan cinta: bahwa kesunyian yang dipenuhi Allah lebih indah daripada keramaian yang kosong dari-Nya.

 

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement