Khazanah
Beranda » Berita » Al-Shiblī: Sufi yang Penuh Kegilaan Cinta kepada Allah

Al-Shiblī: Sufi yang Penuh Kegilaan Cinta kepada Allah

Ilustrasi Al-Shiblī sufi penuh cinta kepada Allah
Ilustrasi sufi dengan wajah penuh kerinduan, berdiri dalam keheningan malam, simbol cinta yang melampaui dunia.

Surau.co. Al-Shiblī, seorang sufi yang kisahnya diabadikan dalam Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ karya Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī, adalah potret seorang pecinta yang hidupnya meledak dalam api cinta kepada Allah. Dalam hidupnya, ia seakan menolak kesunyian yang biasa, lalu memilih jalan kegilaan rohani. Cintanya kepada Allah begitu membara hingga membuatnya tampak aneh di mata manusia biasa, tetapi justru itulah tanda kerinduan yang tulus. Kehidupan Al-Shiblī mengajarkan bahwa cinta sejati kepada Allah tidak selalu dipahami dunia, namun mampu menyembuhkan jiwa-jiwa yang haus akan makna.

Riwayat Hidup yang Menggetarkan

Al-Shiblī berasal dari Baghdad, seorang pejabat tinggi yang akhirnya melepaskan seluruh jabatan dan kekuasaan. Ia memilih hidup dalam derita spiritual demi mencari keridhaan Allah. Dalam riwayat Abū Nu‘aym disebutkan:

قال الشبلي: إني لأستحيي من الله أن أسأله الجنة وأنا لا أطيق بلاءه
“Aku merasa malu meminta surga kepada Allah, sementara aku tak kuasa menanggung ujian-Nya.”

Ungkapan ini mengajarkan kita di Indonesia yang sering gelisah dengan berbagai masalah hidup, bahwa ujian adalah tanda cinta, bukan kutukan. Banyak orang mengira kesulitan hidup adalah penghalang, padahal justru pintu menuju kedewasaan rohani.

Cinta yang Menyala dan Fenomena Sosial Kita

Masyarakat urban Indonesia sering terjebak dalam pencarian cinta semu. Dari layar ponsel hingga hiruk pikuk kota, cinta diperdagangkan sebagai barang dagangan. Al-Shiblī hadir memberi teladan lain: cinta sejati adalah kehilangan diri dalam samudra ketuhanan. Sebagaimana Al-Qur’an menegaskan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

﴿وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ﴾
“Dan orang-orang yang beriman itu sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)

Ayat ini menunjukkan bahwa cinta bukan sekadar kata, melainkan api yang menelan ego.

Sufi yang Menangis dalam Doa

Al-Shiblī kerap menangis hingga tubuhnya gemetar. Baginya, doa adalah pertemuan rahasia dengan Sang Kekasih. Dalam Hilyat al-Awliyā’ diriwayatkan:

قال: البكاء من خشية الله دواء القلوب
“Tangisan karena takut kepada Allah adalah obat hati.”

Di negeri kita, banyak orang merasa kehilangan arah karena tekanan hidup. Menangis dalam doa seperti Al-Shiblī bukanlah kelemahan, tetapi pengakuan bahwa jiwa manusia lemah tanpa sandaran Ilahi.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Cermin Zuhud dalam Kehidupan Modern

Meski meninggalkan jabatan, Al-Shiblī tidak jatuh dalam kemiskinan batin. Ia justru kaya dalam cinta, kaya dalam kerendahan hati. Salah satu kalimatnya yang abadi adalah:

قال: من أحب الله لم يشبع من ذكره
“Barang siapa mencintai Allah, ia tak pernah kenyang dari mengingat-Nya.”

Ungkapan ini menyentuh fenomena sosial kita yang begitu mudah bosan dalam ibadah. Orang sering mencari hiburan eksternal, padahal ketenangan bisa tumbuh dari zikrullah yang tak pernah habis manisnya.

Warisan Spiritual yang Abadi

Para murid dan pengikut Al-Shiblī menegaskan bahwa gurunya adalah nyala api cinta yang tidak pernah padam. Kegilaan rohaninya melahirkan inspirasi bagi banyak tarekat sufi. Dalam keanehannya, ia justru menyingkap keindahan cinta yang murni.

Fenomena ini seharusnya menjadi renungan kita. Di tengah budaya yang mengagungkan logika kering, kisah Al-Shiblī adalah bukti bahwa kegilaan cinta kepada Allah mampu melahirkan ketenangan yang tidak bisa diberikan oleh dunia.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Jalan Pulang Melalui Cinta

Al-Shiblī menunjukkan bahwa cinta kepada Allah bisa membebaskan dari penjara ego. Doanya yang masyhur berbunyi:

قال: اللهم إن كنت لا ترضى عني إلا بترك معصيتي فإني لا أستطيع
“Ya Allah, jika Engkau hanya ridha padaku bila aku meninggalkan semua maksiat, maka aku lemah tak mampu.”

Doa ini adalah pengakuan jujur dari seorang pecinta yang tak kuasa melawan dirinya sendiri. Ia pasrah, ia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah. Inilah ketulusan yang menjadi inti tasawuf.

Penutup

Kisah Al-Shiblī dalam Hilyat al-Awliyā’ bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah cermin bagi manusia modern yang haus akan makna. Dari tangisan, doa, hingga kegilaan cintanya, Al-Shiblī mengajarkan bahwa cinta kepada Allah bukan sekadar kata indah, melainkan jalan pulang menuju rumah sejati.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement