Di tengah derasnya arus kehidupan, kisah Ma‘rūf al-Karkhī yang diriwayatkan dalam Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ karya Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī hadir sebagai pelita. Sosok ini bukan sekadar ulama sufi, tetapi teladan yang menjembatani manusia dengan cinta ilahi. Ia dikenal sebagai guru spiritual yang menjadi fondasi penting lahirnya berbagai tarekat besar. Keteguhan iman, kesederhanaan hidup, dan kelembutan akhlaknya mengajarkan bahwa jalan menuju Allah selalu terbuka bagi siapa pun yang tulus mencari.
Jejak Kehidupan yang Menggetarkan Hati
Ma‘rūf lahir di Kufah dan tumbuh dalam lingkungan keras. Namun, hatinya selalu haus akan kebenaran. Ketika cahaya Islam menyentuh jiwanya, ia meninggalkan keyakinan lama dan memilih hidup sepenuhnya dalam pangkuan tauhid. Abū Nu‘aym meriwayatkan nasihatnya:
قال معروف الكرخي: من ذاق طعم معرفة الله لم يلتفت إلى الدنيا
“Barang siapa telah merasakan manisnya mengenal Allah, ia tidak lagi menoleh kepada dunia.”
Pesan ini terasa relevan bagi masyarakat yang sibuk mengejar materi. Banyak orang di Indonesia berjuang tanpa henti dalam kompetisi ekonomi, tetapi tetap merasa kosong. Ma‘rūf menegaskan bahwa kebahagiaan sejati lahir bukan dari harta, melainkan dari kedekatan dengan Allah.
Cahaya Zuhud di Tengah Gelap Dunia
Sikap zuhud yang diajarkan Ma‘rūf bukan ajakan untuk menjauh dari dunia sepenuhnya. Sebaliknya, ia menempatkan dunia di tangan, bukan di hati. Ia pernah berkata:
قال: التوكل أن لا ترى غير الله رازقًا لك
“Tawakal itu adalah ketika engkau tidak melihat selain Allah sebagai pemberi rezeki bagimu.”
Nasihat ini sangat penting bagi masyarakat kita. Banyak orang bekerja keras setiap hari, namun tetap dihantui kecemasan. Dengan tawakal, usaha tetap dijalankan, tetapi hati menyerahkannya kepada Allah.
Cermin Bagi Fenomena Sosial di Indonesia
Jika kita menoleh ke kehidupan urban saat ini, banyak orang kehilangan arah. Hiruk-pikuk kota sering membuat jiwa gersang. Dalam kondisi seperti itu, teladan Ma‘rūf seakan memanggil kita: kembali kepada doa, kembali kepada keheningan. Al-Qur’an menegaskan:
﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. al-Ra‘d: 28)
Ayat ini seakan menjadi jawaban sederhana atas keresahan zaman. Ma‘rūf memilih meninggalkan gemerlap dunia demi ketenteraman hati, dan pilihan itu tetap relevan hingga kini.
Ma‘rūf dan Warisan Tarekat Sufi
Banyak tarekat besar mengakui Ma‘rūf sebagai salah satu inspirasinya. Jalur ruhaniahnya diwariskan kepada murid-murid yang kemudian melahirkan berbagai jalan sufi. Doanya yang terkenal memperlihatkan kerendahan hati sekaligus keteguhan iman:
قال معروف: اللهم لا تجعل الدنيا أكبر همنا ولا مبلغ علمنا
“Ya Allah, jangan jadikan dunia sebagai kegelisahan terbesar kami dan batas ilmu kami.”
Doa ini menjadi napas panjang bagi mereka yang ingin tetap lurus di jalan Allah.
Relevansi Kehidupan Ma‘rūf Bagi Kita
Dalam konteks Indonesia modern, ajaran Ma‘rūf tetap aktual. Banyak anak muda merasa kosong meskipun terhubung dengan dunia maya sepanjang waktu. Figur sufi ini mengajarkan keseimbangan: bekerja secukupnya, menuntut ilmu sebanyaknya, dan menjaga hati agar selalu terpaut pada Allah.
Kesederhanaan hidup Ma‘rūf adalah pengingat bahwa spiritualitas tidak pernah ketinggalan zaman. Ketika masyarakat kehilangan arah moral, kisah para sufi hadir sebagai jalan pulang.
Kehidupan sebagai Doa Panjang
Ma‘rūf menutup perjalanan hidupnya dengan pesan indah:
قال: من أحب أن يكرمه الله في الدنيا والآخرة فليكن مع الله في سره وعلانيته
“Siapa yang ingin dimuliakan Allah di dunia dan akhirat, hendaklah ia bersama Allah dalam rahasia dan terang-terangan.”
Pesan ini mengajarkan bahwa kesalehan tidak boleh berhenti di ruang publik semata, melainkan harus berakar pada keikhlasan batin.
Penutup
Kisah Ma‘rūf al-Karkhī adalah cermin bagi jiwa-jiwa yang lelah. Hilyat al-Awliyā’ bukan hanya menyimpan catatan sejarahnya, tetapi juga menyajikan panduan ruhani. Bagi masyarakat Indonesia yang hidup dalam hiruk-pikuk zaman, warisan Ma‘rūf adalah pelukan hangat: kembalilah pada Allah, karena hanya di hadapan-Nya jiwa menemukan rumah sejati.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
