Khazanah
Beranda » Berita » Fudhail bin ‘Iyāḍ: Dari Perampok Jalanan Menjadi Ulama Sufi Terkemuka

Fudhail bin ‘Iyāḍ: Dari Perampok Jalanan Menjadi Ulama Sufi Terkemuka

Ilustrasi Fudhail bin ‘Iyāḍ perampok yang bertaubat
Ilustrasi perubahan Fudhail bin ‘Iyāḍ dari perampok jalanan menjadi seorang ulama sufi besar.

Surau.co. Fudhail bin ‘Iyāḍ adalah sosok yang mengajarkan kita bahwa pintu taubat selalu terbuka selebar langit. Dalam Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’, Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī meriwayatkan bahwa ia dahulu dikenal sebagai perampok jalanan yang ditakuti. Namun, takdir membawanya pada perjumpaan dengan firman Allah, hingga hatinya bergetar dan jalan hidupnya berubah.

Kisah ini begitu relevan dengan masyarakat kita. Banyak orang yang merasa terlanjur salah langkah, seakan tak ada lagi ruang kembali. Padahal, sebagaimana Fudhail bin ‘Iyāḍ, setiap jiwa memiliki kesempatan untuk menempuh jalan cahaya.

Ia pernah menuturkan:

«مَا أَشَدَّ غَفْلَةَ مَنْ عَلِمَ أَنَّ اللَّهَ يَرَاهُ ثُمَّ عَصَاهُ»
“Betapa lalainya orang yang tahu bahwa Allah melihatnya, namun tetap bermaksiat.”

Ungkapan ini lahir dari pengalaman pribadi, karena ia merasakan betapa gelapnya hidup saat jauh dari Allah, dan betapa terang ketika hati tersentuh ayat-Nya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Pertemuan dengan Ayat yang Mengubah Segalanya

Riwayat menyebutkan bahwa perubahan besar terjadi ketika Fudhail mendengar seseorang membaca firman Allah:

﴿أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ﴾
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?” (QS. al-Ḥadīd: 16)

Ayat ini seakan menghantam jiwanya. Ia menangis tersedu, lalu berkata kepada dirinya sendiri, “Telah tiba waktunya, wahai Fudhail.” Sejak saat itu, ia meninggalkan jalan kejahatan dan menapaki jalan ilmu serta ibadah.

Di Indonesia, kita sering mendengar kisah orang yang berubah karena satu ayat, satu peristiwa, atau satu kejadian kecil yang mengetuk batin. Perubahan itu nyata, dan kisah Fudhail bin ‘Iyāḍ menjadi bukti bahwa Allah Maha Membolak-balikkan hati.

Ulama Zuhud yang Menjadi Panutan

Setelah bertaubat, Fudhail bin ‘Iyāḍ tidak sekadar hidup sebagai seorang alim, tetapi menjadi sufi besar yang kata-katanya menembus hati. Dalam Hilyat al-Awliyā’ disebutkan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

«إِذَا لَمْ تَسْتَطِعْ أَنْ تَقُومَ بِاللَّيْلِ وَلاَ تَصُومَ النَّهَارَ فَاعْلَمْ أَنَّكَ مَحْرُومٌ»
“Jika engkau tidak mampu bangun malam dan berpuasa di siang hari, ketahuilah bahwa engkau sedang terhalang (dari kebaikan).”

Ia mengajarkan zuhud bukan dalam arti membenci dunia, tetapi menempatkan dunia hanya sebagai jembatan, bukan tujuan. Ucapannya membimbing banyak orang untuk mengukur kembali arah hidup: apakah kita sedang berjalan menuju Allah, atau justru menjauh dari-Nya.

Cermin Kehidupan Sosial Indonesia

Di tengah hiruk-pikuk negeri ini, kisah Fudhail bin ‘Iyāḍ adalah cermin yang menenangkan. Banyak orang bergelimang kesibukan dunia, mengejar kekayaan meski dengan cara yang salah. Namun, jika seorang perampok jalanan bisa menjadi ulama sufi terkemuka, maka pintu perubahan terbuka bagi siapa saja.

Seperti sabda Nabi ﷺ:

«كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ»
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzī)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Hadis ini sejalan dengan perjalanan Fudhail. Ia membuktikan bahwa kesalahan bukan akhir, melainkan awal dari jalan baru yang lebih bercahaya.

Warisan Nasihat yang Menggetarkan Jiwa

Fudhail bin ‘Iyāḍ dikenal dengan kata-kata hikmahnya yang terus hidup hingga kini. Salah satunya adalah:

«خَصْلَتَانِ تُقَسِّيَانِ الْقَلْبَ: كَثْرَةُ الْكَلَامِ وَكَثْرَةُ الأَكْلِ»
“Dua perkara yang mengeraskan hati: terlalu banyak bicara dan terlalu banyak makan.”

Nasihat ini begitu sederhana, namun begitu relevan di era sekarang, ketika media sosial membuat kita terus bicara tanpa henti, dan budaya konsumsi membuat kita lupa batas.

Kisahnya memberi pesan bahwa hati yang lembut hanya bisa lahir dari kesederhanaan, keheningan, dan kedekatan dengan Allah.

Menyulam Harapan dalam Kehidupan Sehari-hari

Fudhail bin ‘Iyāḍ adalah simbol harapan. Ia mengajarkan bahwa masa lalu tidak menentukan masa depan, bahwa gelap bisa berubah menjadi terang. Di negeri kita, di mana banyak orang terjebak dalam lingkaran kesalahan, kisah ini menjadi pengingat bahwa perubahan itu mungkin, asalkan hati benar-benar ingin kembali.

Ia menutup banyak nasihatnya dengan keyakinan:

«مَنْ خَافَ اللَّهَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ، وَمَنْ رَغِبَ فِي الدُّنْيَا ضَرَّهُ كُلُّ شَيْءٍ»
“Siapa yang takut kepada Allah, tak ada sesuatu pun yang bisa membahayakannya. Tetapi siapa yang tamak pada dunia, segalanya akan mencelakakannya.”

Pesan ini seakan menyalakan obor dalam kegelapan: jika hati berpegang pada Allah, maka tidak ada yang perlu ditakuti, bahkan masa lalu sekalipun.

 

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement