SURAU.CO. Bahasa selalu menjadi cermin jiwa yang tak lekang oleh waktu. Setiap kata yang keluar dari lisan mengungkap bagaimana kita berpikir, menilai, dan mengekspresikan diri. Di era digital, generasi muda semakin jelas memantulkan jiwanya melalui bahasa. Mereka sering melontarkan ungkapan seperti “anjir,” “anjay,” “anjim,” atau “anjrot” di tongkrongan, warung kopi, media sosial, bahkan ruang kelas. Kata-kata ini dulu orang anggap tabu, tetapi kini anak muda memakainya dalam berbagai situasi, mulai dari kaget, kagum, hingga sekadar bercanda ria.
Perubahan itu membuat umpatan seolah sahih sebagai bahasa sehari-hari. Fenomena ini mengundang pertanyaan mendasar: bagaimana kata kasar bisa bergeser makna lalu menjelma tren gaul? Apakah perubahan itu mampu menghapus sisi negatifnya? Atau justru menunjukkan bahwa standar etika berbahasa semakin menurun?
Pergeseran Makna: Dari Kata Kasar Menuju Bahasa Gaul
Asal-usul kata “anjir” berakar pada kata umpatan binatang “anjing,” salah satu umpatan paling kasar dalam bahasa Indonesia. Sejak lama, orang menggunakannya untuk merendahkan martabat seseorang. Namun, generasi muda memilih jalur berbeda. Mereka melakukan “inovasi” dengan memelesetkannya atau menghaluskan menjadi “anjir,” “anjay,” “anjim,” “anjas,” atau “anjrot.” Secara fonetik, perubahan ini membuat kata-kata tersebut terdengar lebih ringan, bahkan lucu bagi sebagian orang.
Yang menarik, kata-kata ini tidak lagi semata-mata berfungsi sebagai penghinaan. Anak muda sering memakainya untuk mengekspresikan kekaguman: “Anjir, keren banget!” atau untuk menunjukkan rasa heran: “Anjay, kok bisa gitu ya?” Pergeseran makna ini mengubah umpatan menjadi ekspresi emosional yang serbaguna.
Media sosial mempercepat penyebaran tren ini. Pada 2015–2018, kata “anjay” mulai meledak lewat konten YouTube dan Instagram. Puncaknya muncul ketika TikTok memberi panggung baru pada 2019–2020. Para konten kreator menjadikannya punchline, bahkan mengangkatnya ke dalam lagu dan meme. Sejak saat itu, “anjay” dan variasinya tidak lagi sekadar umpatan; ia menjelma bahasa gaul nasional yang tumbuh tanpa terbendung.
Normalisasi Umpatan: Dampak Sosial dan Etika Berbahasa
Pergeseran makna ini membawa dampak sosial yang signifikan. Anak-anak kecil berseragam merah-putih sekolah dasar pun fasih mengucapkannya. Bahasa kasar yang dulu tabu menjadi bahasa umum di mana-mana. Fenomena ini dikenal sebagai normalisasi umpatan. Sesuatu yang dulu dianggap buruk kini sudah dianggap biasa.
Masalahnya, bahasa yang dibiasakan akan membentuk pola pikir. Jika sejak kecil terbiasa melontarkan umpatan, seseorang tanpa sadar menanamkan benih kasar dalam dirinya. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menurunkan standar etika komunikasi. Ucapan yang dulu dianggap keterlaluan kini dapat meluncur bebas di ruang kelas, kantor, atau bahkan forum publik. Hal ini dapat mengikis empati dalam berbahasa.
Di era digital, masalah ini semakin mengkhawatirkan. Media sosial penuh dengan komentar kasar, sindiran, dan candaan yang bernada menghina. Generasi muda yang tumbuh dalam ekosistem ini berisiko sulit membedakan bahasa yang sehat dan bahasa yang merusak relasi sosial.
Pandangan Islam: Menguatkan Adab Berbahasa
Islam menempatkan lisan sebagai amanah yang besar. Nabi Muhammad Saw dalam satu Hadisnya bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Latin:
Man kāna yu’minu billāhi wa al-yaumi al-ākhir fal-yaqul khayran aw liyasmut.
Arti:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lebih lanjut, Rasulullah Saw menegaskan, “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berkata keji, atau berkata kotor.” (HR. Tirmidzi). Dengan demikian, meski “anjir” dan “anjay” terdengar ringan atau gaul, akarnya tetap berasal dari umpatan. Kebiasaan ini tidak sejalan dengan adab Islam yang menuntun kita menjaga lisan agar bersih dari kata-kata keji.
Jalan Tengah: Mengembangkan Bahasa Sehat dan Membangun Budaya Baik
Anak muda tidak harus kehilangan ekspresi ketika bergaul. Bahasa gaul bisa tetap hidup tanpa bersandar pada umpatan. Kreativitas justru semakin bernilai saat kita memilih kata-kata positif, seperti “Masya Allah,” “Subhanallah,” atau sekadar “wah, keren banget!” yang terdengar segar sekaligus menenangkan hati.
Pilihan bahasa selalu membentuk budaya. Kata-kata santun menumbuhkan kebaikan, sedangkan umpatan melahirkan kebiasaan kasar. Fenomena “anjir” dan variasinya membuktikan betapa bahasa bisa bergeser arah, dari umpatan menjadi tren gaul. Namun, tren tidak boleh membuat kita lengah, sebab akar makna tetap membawa dampak.
Islam mengingatkan kita untuk menjaga lisan. Dari mulut, manusia bisa terangkat, dan dari mulut pula ia bisa jatuh. Karena itu, arahkan kata-kata kita pada kebaikan. Jangan sekadar mengikuti arus, tetapi jadikan lisan sebagai sarana untuk menebar manfaat kapan pun dan di mana pun kita berada. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
