Surau.co. Ibrāhīm bin Adham adalah nama yang tak lekang dari tinta sejarah para kekasih Allah. Ia lahir sebagai pangeran, tumbuh dalam istana penuh kemewahan, namun hatinya resah melihat dunia yang terus menipu. Dalam kitab Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’, Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī menuturkan bagaimana seorang bangsawan memilih jalan zuhud dan meninggalkan tahtanya demi mencari keridhaan Ilahi.
Di tengah masyarakat Indonesia yang sering mengukur kesuksesan dari harta dan jabatan, kisah ini bagaikan cermin yang mengajak kita bertanya: apakah kebahagiaan sejati benar-benar lahir dari dunia yang kita genggam?
Ibrāhīm pernah berkata:
«مَا صَدَقَ اللَّهَ عَبْدٌ أَحَبَّ الدُّنْيَا»
“Tidaklah seorang hamba jujur kepada Allah bila ia masih mencintai dunia.”
Kalimat ini bagai petir yang mengguncang hati. Zuhud Ibrāhīm bin Adham bukan hanya teori, melainkan perwujudan hidup seorang pangeran yang rela meninggalkan mahkota demi sepasang sandal usang di jalan zuhud.
Panggilan Ilahi di Tengah Kenyamanan Istana
Dalam riwayat Hilyat al-Awliyā’, diceritakan bahwa Ibrāhīm bin Adham suatu malam mendengar suara ghaib ketika ia tertidur di istana:
«أَتُحِبُّ أَنْ تَكُونَ لِلَّهِ وَيَكُونَ اللَّهُ لَكَ؟»
“Apakah engkau ingin menjadi milik Allah, dan Allah menjadi milikmu?”
Pertanyaan itu menusuk relung jiwanya. Dari sanalah ia sadar bahwa segala singgasana hanyalah bayangan. Seorang pangeran yang dicintai rakyat memilih pergi diam-diam, melepas pakaian kebangsawanan, lalu hidup sebagai pengembara yang mencari ridha Allah.
Di Indonesia, kisah ini bisa kita lihat pada orang-orang yang berani menolak korupsi, menolak kemewahan haram, meski artinya hidup harus lebih sederhana. Kebahagiaan tidak terletak pada istana, melainkan pada hati yang merdeka.
Pelajaran Zuhud bagi Masyarakat Modern
Zuhud bukan sekadar menolak dunia secara lahiriah, melainkan melepaskan hati dari ketergantungan. Ibrāhīm bin Adham mencontohkan bahwa melepaskan dunia bisa melahirkan kebebasan batin. Ia berkata:
«طُوبَى لِمَنْ تَرَكَ الدُّنْيَا قَبْلَ أَنْ تَتْرُكَهُ»
“Beruntunglah orang yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya.”
Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa dunia tidak pernah abadi. Di negeri kita, banyak orang bekerja keras siang malam, bahkan sampai mengorbankan keluarga demi harta. Namun, Ibrāhīm mengajarkan bahwa dunia yang kita kumpulkan akan tetap pergi, sedangkan amal saleh akan tinggal.
Mencari Allah dalam Kesederhanaan
Perjalanan Ibrāhīm bin Adham membawa kita pada hakikat ibadah: mencari Allah di balik kesederhanaan. Ia menolak makanan mewah, lebih memilih roti kering yang diperoleh dengan susah payah. Ia bahkan bekerja sebagai buruh tani, memikul beban di pasar, dan mengajarkan makna kerja yang penuh keikhlasan.
Ia menuturkan dalam riwayat:
«مَنْ عَرَفَ اللَّهَ أَحَبَّهُ، وَمَنْ أَحَبَّهُ آثَرَ دُونَهُ»
“Siapa yang mengenal Allah pasti mencintai-Nya, dan siapa yang mencintai-Nya pasti mendahulukan-Nya di atas segalanya.”
Kutipan ini bukan sekadar nasihat, melainkan peta perjalanan jiwa. Semakin kita mengenal Allah, semakin mudah melepaskan dunia yang hanya debu.
Menghidupkan Teladan di Indonesia Masa Kini
Di tengah arus konsumerisme yang kian deras, teladan Ibrāhīm bin Adham seperti oase. Ia mengingatkan bahwa keberanian untuk sederhana adalah kekuatan, bukan kelemahan. Masyarakat Indonesia yang semakin sibuk mengejar citra di media sosial bisa belajar darinya: hidup bukan soal dipuji, melainkan soal dimiliki oleh Allah.
Al-Qur’an menegaskan dalam surah al-An‘ām ayat 32:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?”
Ayat ini adalah gema dari langkah Ibrāhīm. Ia mengajarkan bahwa yang sementara jangan sampai menipu kita dari yang abadi.
Refleksi untuk Jiwa Kita
Kisah Ibrāhīm bin Adham bukan sekadar nostalgia sejarah, tetapi undangan bagi jiwa kita untuk merenung. Apakah kita berani meninggalkan kelekatan dunia, walau hanya sedikit, demi menemukan ketenangan? Apakah kita siap mengganti mahkota kesombongan dengan mahkota kerendahan hati?
Perjalanan seorang pangeran yang menjadi zahid adalah cermin bagi kita semua. Bahwa setiap orang, apa pun latar belakangnya, bisa memilih jalan yang lebih dekat kepada Allah.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
