Khazanah
Beranda » Berita » Sufyān al-Thawrī: Faqih Besar yang Hidup Seperti Seorang Zuhud

Sufyān al-Thawrī: Faqih Besar yang Hidup Seperti Seorang Zuhud

Ilustrasi Sufyān al-Thawrī faqih zuhud
Gambaran Sufyān al-Thawrī yang memilih kesederhanaan dan menolak kemewahan penguasa.

Surau.co. Sufyān al-Thawrī adalah seorang faqih besar yang meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Islam. Ia bukan hanya ulama ahli fikih, tetapi juga seorang zahid yang menolak dunia dengan segala gemerlapnya. Dalam kitab Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ karya Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī, sosok ini digambarkan sebagai ulama yang menyalakan lentera iman di tengah gelapnya dunia yang dikuasai hawa nafsu. Di Indonesia, semangat seperti ini relevan ketika masyarakat berhadapan dengan hiruk-pikuk materialisme yang sering membuat hati gersang.

Ia pernah berkata dengan bahasa yang menusuk jiwa:

«ما أحببت الدنيا إلا أفسدت عليك قلبك»
“Tidaklah engkau mencintai dunia, melainkan hatimu akan rusak karenanya.”

Kata-kata ini terasa menampar kita, seakan menyadarkan bahwa kecintaan berlebihan terhadap harta, jabatan, atau popularitas hanya akan menjadi racun yang perlahan mematikan jiwa.

Menolak Kekuasaan dan Menghindari Istana

Berbeda dengan sebagian ulama pada zamannya, Sufyān al-Thawrī menolak keras untuk mendekat ke penguasa. Baginya, kekuasaan adalah pintu yang mudah menggiring manusia pada kompromi iman. Ia pernah melarikan diri ketika dipanggil khalifah, memilih kelaparan di jalanan daripada hidup dengan kemewahan istana.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam riwayat Hilyat al-Awliyā’ diceritakan:

«فرّ سفيان من أبواب السلطان كما يفرّ الرجل من الأسد»
“Sufyān lari dari pintu para penguasa sebagaimana seseorang lari dari singa.”

Sikap ini menjadi teladan penting di Indonesia, di mana banyak orang merasa tidak bisa hidup tanpa kedekatan dengan kekuasaan. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan hati lebih berharga daripada emas dan jabatan.

Zuhud Bukan Berarti Menolak Kehidupan

Sebagian orang sering salah paham bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia secara total. Padahal, zuhud menurut Sufyān bukan berarti tidak memiliki apa-apa, melainkan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan.

Ia berkata:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

«الزهد في الدنيا قصر الأمل وليس بأكل الغليظ ولا لبس العباء»
“Zuhud di dunia adalah pendeknya angan-angan, bukan sekadar makan kasar atau memakai pakaian sederhana.”

Artinya, zuhud adalah kondisi hati. Seseorang bisa kaya, tetapi tetap zuhud bila ia tidak diperbudak oleh kekayaannya. Di tengah gaya hidup konsumtif yang merambah Indonesia hari ini, pesan Sufyān begitu aktual: sederhana bukan berarti miskin, melainkan bijaksana dalam menata jiwa.

Nasihat untuk Para Penuntut Ilmu

Sebagai seorang faqih, Sufyān menekankan pentingnya keikhlasan dalam mencari ilmu. Ilmu, katanya, bisa menjadi cahaya atau justru api yang membakar jika tidak dilandasi niat yang benar.

Dalam kitab Hilyat al-Awliyā’ ia menuturkan:

«إنما العلم نية، فمن صلحت نيته صلح علمه»
“Sesungguhnya ilmu itu bergantung pada niat. Siapa yang baik niatnya, baik pula ilmunya.”

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Di Indonesia, kita sering melihat fenomena di mana ilmu dijadikan alat untuk mencari kedudukan atau keuntungan dunia. Nasihat ini hadir sebagai pengingat, bahwa ilmu sejati seharusnya membawa kedekatan kepada Allah dan manfaat bagi sesama.

Menyerap Ruh Zuhud untuk Zaman Kini

Di era modern, manusia sering terjebak pada kompetisi material, bahkan mengukur kesuksesan dari angka di rekening bank. Kehidupan Sufyān al-Thawrī menghadirkan alternatif jalan: mengutamakan ketenangan batin di atas pencapaian duniawi.

Al-Qur’an menegaskan dalam surah al-Ḥadīd ayat 20:

﴿اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ﴾
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling bermegah-megahan di antara kalian, dan berlomba dalam memperbanyak harta serta anak.”

Ayat ini selaras dengan kehidupan Sufyān yang menolak kesenangan palsu. Ia mengajarkan bagaimana hati bisa hidup, meski tubuh harus menahan lapar. Baginya, kesejatian hidup bukan ada pada apa yang terlihat mata, tetapi pada ketenangan batin yang dirasakan jiwa.

Refleksi untuk Kehidupan Kita

Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang serba cepat, kisah Sufyān al-Thawrī memberi jeda untuk merenung. Betapa sering kita mengejar dunia seakan hidup selamanya, padahal detik demi detik membawa kita menuju keabadian.

Teladan zuhudnya bisa menjadi jalan tengah: bekerja tetaplah penting, mencari nafkah adalah kewajiban, tetapi jangan biarkan dunia mengikat hati. Dunia hanyalah titipan, bukan tujuan akhir.

 

Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement