Khazanah
Beranda » Berita » Rābi‘ah al-‘Adawiyyah: Cinta Ilahi dalam Syair dan Doa

Rābi‘ah al-‘Adawiyyah: Cinta Ilahi dalam Syair dan Doa

Ilustrasi Rābi‘ah al-‘Adawiyyah perempuan sufi berdoa dalam cinta Ilahi.
Ilustrasi filosofis Rābi‘ah al-‘Adawiyyah, perempuan sufi, berdoa dengan penuh cinta dan kerinduan kepada Allah.

Surau.co. Cinta sejati bukanlah yang terikat pada wajah dan harta, melainkan yang tumbuh di hati hingga menembus batas dunia. Inilah yang diwariskan Rābi‘ah al-‘Adawiyyah, seorang tokoh perempuan sufi yang hidup di abad kedua Hijriah. Namanya termasyhur sebagai simbol cinta murni kepada Allah, tanpa pamrih surga ataupun takut neraka. Dalam kitab Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’, Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī menuliskan kisah-kisah agung tentang beliau, bagaimana doa-doanya mengguncang hati, dan bagaimana syair-syairnya menjadi nyala api yang membakar kerinduan kepada Sang Pencipta.

Cinta yang Melampaui Batas Duniawi

Masyarakat Indonesia hari ini sering terhanyut dalam cinta dunia: cinta kepada kekayaan, jabatan, dan popularitas. Namun, Rābi‘ah justru menghadirkan pandangan berbeda. Ia mengajarkan bahwa puncak cinta adalah menyerahkan seluruh jiwa kepada Allah, bukan berharap balasan duniawi. Abū Nu‘aym meriwayatkan darinya doa yang mengguncangkan:

«اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ أَعْبُدُكَ خَوْفًا مِنْ نَارِكَ فَأَحْرِقْنِي بِهَا، وَإِنْ كُنْتُ أَعْبُدُكَ طَمَعًا فِي جَنَّتِكَ فَاحْرِمْنِي مِنْهَا، وَإِنْ كُنْتُ أَعْبُدُكَ لِوَجْهِكَ فَلَا تَحْرِمْنِي جَمَالَكَ»
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, maka jauhkanlah aku darinya. Namun jika aku menyembah-Mu demi wajah-Mu, maka jangan Engkau halangi aku dari melihat keindahan-Mu.”

Doa ini menjadi cermin bagi manusia modern yang sering terjebak dalam motivasi transaksional dalam beragama. Rābi‘ah mengajarkan cinta yang tulus, tanpa syarat.

Syair sebagai Jembatan Jiwa

Keindahan kata-kata Rābi‘ah lahir dari kedalaman jiwanya. Ia tidak menulis untuk terkenal, tidak pula bersyair untuk hiburan. Setiap kalimatnya adalah doa, setiap baitnya adalah jeritan hati yang merindu. Dalam Hilyat al-Awliyā’ disebutkan ucapannya:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

«إِنِّي جَعَلْتُكَ فِي فُؤَادِي حَتَّى لَا يَسْكُنَ مَعَكَ غَيْرُكَ»
“Aku telah menempatkan-Mu dalam hatiku, hingga tiada seorang pun yang bisa tinggal bersamaku selain Engkau.”

Bait ini terasa begitu relevan di tengah budaya populer Indonesia, di mana syair sering dipakai untuk merayakan cinta duniawi. Rābi‘ah menunjukkan bahwa syair juga bisa menjadi jalan spiritual, mengikat jiwa kepada yang abadi.

Doa yang Menghidupkan Hati

Bagi Rābi‘ah, doa bukan sekadar ucapan lisan, melainkan getaran jiwa. Ia pernah berdoa dengan penuh penghayatan:

«إِلَهِي، مَا عَبَدْتُكَ لِرَغْبَةٍ فِي جَنَّةٍ وَلا رَهْبَةٍ مِنْ نَارٍ، وَلَكِنْ عَبَدْتُكَ لِحُبِّي لَكَ»
“Wahai Tuhanku, aku tidak menyembah-Mu karena mengharap surga atau takut neraka, melainkan karena cintaku kepada-Mu.”

Doa ini mencerminkan spiritualitas yang mendalam. Di Indonesia, banyak orang mencari agama sebagai jalan keluar dari masalah dunia. Namun Rābi‘ah menuntun kita untuk melihat lebih jauh: menjadikan doa bukan sekadar permintaan, melainkan ungkapan cinta yang murni.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Cinta Ilahi dan Fenomena Sosial Kita

Jika kita renungkan, banyak fenomena sosial di negeri ini yang mencerminkan kerinduan pada cinta sejati. Orang mencari kebahagiaan dalam pernikahan, pekerjaan, atau kekayaan, tetapi sering berakhir kecewa. Rābi‘ah mengajarkan bahwa cinta sejati hanya bisa ditemukan ketika hati bersandar penuh pada Allah. Dengan itu, manusia akan tetap tenang meskipun kehilangan dunia.

Al-Qur’an pun menegaskan:

﴿وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ﴾ (البقرة: 165)
“Dan orang-orang yang beriman itu sangat besar cintanya kepada Allah.”

Ayat ini adalah peneguhan bahwa cinta Ilahi adalah fondasi yang tak tergoyahkan. Rābi‘ah menjadi teladan nyata bagaimana ayat itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Warisan Spiritualitas Rābi‘ah

Kisah Rābi‘ah tidak hanya menginspirasi para ulama, tetapi juga para pencari makna hidup sepanjang zaman. Ia membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menjadi mercusuar spiritualitas Islam. Cintanya kepada Allah menembus sekat gender, status sosial, dan zaman. Abū Nu‘aym menulis tentangnya:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

«كَانَتْ كَلِمَاتُهَا نُورًا يَخْرُجُ مِنْ قَلْبٍ مَمْلُوءٍ بِالْحُبِّ»
“Kata-katanya adalah cahaya yang keluar dari hati yang penuh cinta.”

Di Indonesia, ketika perempuan masih sering terpinggirkan dalam ruang spiritual, kisah Rābi‘ah menghadirkan harapan baru. Bahwa siapa pun, laki-laki atau perempuan, bisa mencapai derajat tinggi dalam cinta Ilahi.

Penutup: Menghidupkan Cinta yang Murni

Cinta Rābi‘ah al-‘Adawiyyah adalah cinta yang mengguncang batas logika. Ia tidak meminta imbalan, tidak pula takut ancaman. Yang ada hanya kerinduan tiada henti kepada Allah. Dari doa dan syairnya, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati bukanlah dalam kepemilikan, melainkan dalam penyerahan.

Di tengah zaman yang penuh ambisi, Rābi‘ah mengingatkan kita untuk kembali kepada cinta yang sederhana dan abadi. Cinta yang membuat hati tenang, langkah ringan, dan jiwa selalu merindukan perjumpaan dengan Sang Kekasih sejati.

 

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement