SURAU.CO. Setiap muslim mendambakan kesempatan menunaikan ibadah haji dan umrah. Banyak orang merasa bahagia ketika berhasil mencapai tanah suci. Akan tetapi, jemaah dengan difabel kognitif menghadapi tantangan yang berbeda. Mereka meliputi individu dengan autisme, down sindrom, serta keterlambatan intelektual. Karena kondisi tersebut, mereka membutuhkan panduan yang jelas, sederhana, dan terstruktur.
Banyak penyelenggara haji dan umrah hanya memfokuskan perhatian pada jemaah dengan keterbatasan fisik. Mereka menyiapkan kursi roda, jalur landai, atau tenaga medis. Namun, mereka jarang menyiapkan panduan khusus untuk jemaah difabel kognitif. Padahal, mereka juga berhak merasakan ibadah dengan aman, nyaman, dan bermakna.
Oleh sebab itu, kita perlu menyusun modul khusus. Modul ini harus menjelaskan cara pelatihan, sistem pendampingan, serta kebijakan pendukung. Dengan modul itu, setiap jemaah bisa menunaikan ibadah tanpa hambatan berarti.
Tantangan Jemaah Difabel Kognitif
Pertama, jemaah difabel kognitif sering kesulitan memahami instruksi panjang. Ketika ustadz menjelaskan manasik dengan banyak kata, mereka mudah kehilangan fokus. Akibatnya, mereka tidak mengetahui langkah berikutnya.
Kedua, mereka rentan stres ketika berada di kerumunan besar. Suasana Masjidil Haram, Mina, atau Arafah selalu penuh dengan jutaan orang. Karena itu, jemaah dengan autisme bisa merasa kewalahan, panik, bahkan menolak bergerak.
Ketiga, mereka membutuhkan bantuan konsisten untuk mengikuti urutan ritual. Banyak jemaah difabel kognitif tidak mampu mengingat tahapan haji secara runtut. Mereka membutuhkan alat bantu yang konkret, misalnya kartu bergambar.
Keempat, mereka sering kesulitan menghafal doa. Banyak doa saat tawaf atau sai terasa panjang dan rumit. Karena itu, mereka lebih mudah membaca dzikir pendek atau doa sederhana.
Dengan memahami tantangan tersebut, kita bisa menyusun modul yang benar-benar membantu mereka.
Komponen Modul
Modul haji dan umrah untuk jemaah difabel kognitif harus memiliki beberapa komponen penting.
Pertama, pelatihan pra-keberangkatan dengan media visual. Ustadz bisa menyiapkan gambar Ka’bah untuk menjelaskan tawaf, jalur miniatur untuk menjelaskan sai, serta piktogram untuk menggambarkan wukuf. Ustadz juga bisa melakukan simulasi singkat secara berulang. Dengan cara itu, jemaah mulai terbiasa sejak awal.
Kedua, sistem pendamping atau buddy system. Setiap jemaah difabel kognitif memerlukan satu pendamping. Pendamping memahami cara komunikasi, kebutuhan emosional, serta reaksi khas jemaah. Ketika jemaah merasa panik, pendamping bisa langsung menenangkan.
Ketiga, checklist visual untuk urutan ritual. Penyelenggara bisa menyiapkan kartu berwarna. Misalnya, kartu biru untuk tawaf, kartu hijau untuk sai, serta kartu kuning untuk wukuf. Setiap kartu berisi gambar sederhana dan kata singkat. Dengan alat itu, jemaah tidak perlu menghafal urutan panjang.
Keempat, komunikasi sederhana dari ustadz. Ustadz harus berbicara dengan kalimat singkat, intonasi jelas, serta gerakan tangan. Ustadz juga bisa menggunakan simbol atau gambar untuk memperkuat pesan.
Kelima, standar operasional prosedur bagi penyelenggara. Travel haji dan umrah perlu menyiapkan tim konseling, jalur khusus, serta sistem darurat. Dengan SOP itu, penyelenggara bisa menanggapi kebutuhan jemaah difabel dengan cepat.
Kebijakan Pendukung
Selain modul, kita juga perlu kebijakan yang jelas dan tegas.
Pertama, Kementerian Agama harus memasukkan modul difabel kognitif ke dalam manasik nasional. Dengan aturan itu, semua travel wajib menyediakan layanan yang sama.
Kedua, pemerintah Indonesia perlu menjalin kerja sama dengan otoritas Arab Saudi. Kedua pihak bisa menyediakan jalur khusus, ruang tenang, serta jadwal fleksibel untuk jemaah difabel. Dengan cara itu, ibadah bisa berlangsung lebih aman dan lancar.
Ketiga, penyelenggara perlu melatih pendamping secara serius. Pelatihan harus melibatkan psikolog, terapis okupasi, serta penyuluh agama. Dengan kerja sama lintas bidang, pendamping bisa memahami aspek medis sekaligus spiritual.
Keempat, penyelenggara harus melakukan riset dan dokumentasi. Mereka bisa mencatat pengalaman jemaah difabel setiap tahun. Data itu bisa membantu pemerintah memperbaiki kebijakan. Jika data menunjukkan hambatan tertentu, pemerintah bisa menyiapkan solusi yang lebih efektif.
Kelima, pemerintah perlu memberikan subsidi biaya. Karena sistem pendampingan menambah beban keuangan, pemerintah bisa membantu melalui dana khusus. Dengan subsidi itu, keluarga jemaah tidak merasa berat.
Gambaran Nyata di Lapangan
Bayangkan seorang jemaah dengan sindrom Down memegang kartu bergambar Ka’bah. Pendamping mengajaknya berjalan mengelilingi Ka’bah. Jemaah melihat gambar, lalu mengikuti arahan singkat. Karena pendamping mendampingi terus, ia bisa menyelesaikan tawaf dengan tenang.
Bayangkan seorang jemaah autisme merasa cemas di tengah keramaian. Pendamping segera membawanya ke ruang tenang. Setelah ia merasa lebih rileks, ia kembali melanjutkan sai dengan damai.
Bayangkan seorang jemaah dengan intelektual ringan membaca doa pendek saat wukuf. Meskipun doa singkat, ia merasa khusyuk. Pendamping memberi semangat, dan ia berhasil menyelesaikan ibadah dengan bahagia.
Dengan cara itu, jemaah difabel kognitif tetap bisa merasakan kekhusyukan ibadah. Mereka tidak merasa tertinggal, tidak merasa terpinggirkan, dan tidak merasa sendirian. Semua orang bisa beribadah bersama, saling menghormati, serta saling mendukung.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
