Surau.co. Kitab Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī bukan sekadar lembaran kisah yang dibacakan setiap malam Jumat di surau-surau kecil Nusantara. Ia adalah cermin, sebuah peta, sekaligus bara yang menghangatkan hati. Frasa kunci “Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī” muncul bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai nafas yang hidup dalam masyarakat Muslim Indonesia.
Banyak orang mungkin mengira bahwa manāqib hanyalah cerita lama. Namun, bukankah kita juga sering mendengar kisah-kisah inspiratif di televisi, media sosial, atau film untuk memberi semangat? Bedanya, kisah Syaikh Abdul Qadir adalah cahaya yang berasal dari hati seorang wali Allah, yang membimbing manusia agar tidak tersesat dalam gelapnya zaman.
Dalam manāqib disebutkan:
“مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ”
“Barangsiapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah setan.”
Kata-kata ini bukan sekadar peringatan, tetapi juga pelukan. Seperti seorang ayah yang menegur anaknya agar tidak berjalan di jalan gelap tanpa lampu.
Murid yang Menjadi Nyala Kehidupan
Di kampung-kampung Indonesia, banyak santri membaca manāqib dengan suara lirih menjelang malam. Bukan hanya untuk mencari berkah, tetapi juga sebagai cara menjaga api keyakinan agar tidak padam. Di tengah derasnya arus modernitas, murid-murid Syaikh seakan diajak untuk tidak hanya belajar, tetapi menjadi obor bagi lingkungannya.
Dalam manāqib diriwayatkan:
“إِنَّ الْمُرِيدَ الصَّادِقَ يَكُونُ كَالنَّارِ، يُحْرِقُ مَا حَوْلَهُ مِنَ الْبَاطِلِ.”
“Sesungguhnya murid yang jujur itu bagaikan api, ia membakar segala kebatilan di sekitarnya.”
Murid bukan hanya penadah ilmu, tetapi sumber daya yang memancarkan energi bagi kehidupan sosial. Jika di sekolah-sekolah negeri banyak anak belajar untuk mencari pekerjaan, maka di madrasah para murid Syaikh belajar untuk menemukan makna hidup.
Cahaya di Tengah Fenomena Sosial Indonesia
Fenomena sosial di Indonesia memperlihatkan betapa kita sedang membutuhkan murid-murid yang bukan sekadar menghafal pelajaran, melainkan menyalakan api kejujuran, keberanian, dan kepedulian. Kita melihat berita tentang korupsi, hoaks, bahkan kekerasan atas nama agama. Bukankah ini tanda bahwa api spiritualitas sedang meredup?
Al-Qur’an menegaskan:
﴿وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ﴾
(QS. As-Sajdah: 24)
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar dan meyakini ayat-ayat Kami.”
Ayat ini berbisik kepada kita: murid sejati akan tumbuh menjadi pemimpin jika ia sabar dan yakin. Bukan pemimpin yang hanya mengejar jabatan, tetapi pemimpin yang membawa nyala iman.
Jalan Pulang Lewat Kisah Sang Syaikh
Bagi sebagian orang kota, manāqib dianggap tradisi kampung. Tetapi justru di desa-desa itulah api spiritual sering lebih terjaga. Para ibu membaca manāqib sambil berdoa agar anak-anaknya selamat di perantauan. Para kakek duduk dengan sorban putih, berharap cucu-cucu mereka tidak terjerumus dalam kegelapan.
Dalam manāqib, Syaikh berkata:
“إِذَا أَرَدْتَ الْوُصُولَ فَاتْرُكْ نَفْسَكَ، وَاتَّبِعْ شَيْخَكَ.”
“Jika engkau ingin sampai (kepada Allah), maka tinggalkan dirimu, dan ikutilah gurumu.”
Kalimat ini seolah mengingatkan bahwa perjalanan pulang kepada Allah bukan dengan keangkuhan diri, tetapi dengan rendah hati mengikuti jejak orang-orang yang telah terbukti dekat dengan-Nya.
Murid yang Membakar Zaman dengan Cinta
Setiap zaman memiliki kabutnya. Tetapi murid-murid sejati adalah mereka yang menjadikan kabut sebagai ruang untuk menyalakan obor. Indonesia membutuhkan murid yang tidak hanya mengejar nilai akademik, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam manāqib disebutkan:
“مُرِيدُوْنَا فِي النَّهَارِ صُوَّامٌ وَفِي اللَّيْلِ قِيَامٌ.”
“Murid-murid kami di siang hari berpuasa, dan di malam hari berdiri (shalat).”
Apakah ini hanya untuk para sufi di Baghdad abad ke-6 Hijriyah? Tidak. Ini adalah gambaran bahwa murid sejati harus hidup dengan disiplin, kesungguhan, dan cinta yang tak pernah padam.
Penutup: Jadilah Api yang Menghidupkan
Murid-murid Syaikh Abdul Qadir bukan sekadar pencatat kata-kata guru. Mereka adalah api yang menyala dalam zaman mereka, dan nyala itu sampai kepada kita hari ini.
Kini, pertanyaan itu bergulir kepada kita: Apakah kita hanya akan membaca manāqib sebagai dongeng, ataukah kita akan menyalakan api itu dalam kehidupan kita?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
