Surau.co. Kitab Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī bukan hanya kumpulan kisah tentang seorang wali agung, tetapi juga peta ruhani yang menuntun manusia menuju cahaya Allah. Dari halaman ke halaman, kita tidak hanya membaca tentang karāmah yang melampaui batas nalar, melainkan juga menemukan cermin untuk menatap diri sendiri. Kisah-kisah itu bagaikan cahaya yang menyingkap jalan, mengingatkan bahwa setiap manusia memiliki kemungkinan untuk kembali, pulang, dan menyatu dengan Sang Pencipta.
Kisah yang Hidup di Tengah Masyarakat Indonesia
Di Indonesia, manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī menjadi tradisi yang hidup dalam ruang sosial dan spiritual. Di desa-desa Jawa, Sumatra, hingga Sulawesi, majelis manāqiban digelar secara rutin. Orang-orang berkumpul, membaca kisah-kisah sang wali, lalu menutup dengan doa bersama. Fenomena ini bukan sekadar ritual, melainkan bagian dari identitas masyarakat Muslim Nusantara. Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, manāqiban memberi ruang hening, ruang untuk mengingat Allah dan meneguhkan harapan.
Al-Qur’an menegaskan:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ayat ini seperti fondasi manāqiban: sebuah perjumpaan hati dengan dzikir, melalui kisah seorang wali yang mengajarkan bahwa kedekatan dengan Allah lebih berharga daripada seluruh gemerlap dunia.
Karāmah yang Menjadi Cermin Kehidupan
Kitab manāqib mencatat banyak karāmah Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī. Namun, beliau sendiri menekankan bahwa karāmah sejati bukanlah kemampuan berjalan di atas air atau berbicara dengan hewan, melainkan ketaatan yang konsisten. Salah satu kutipan berbunyi:
قال الشيخ: الكرامة ليست أن تطير في الهواء، بل أن تثبت على أمر الله في السر والعلن
“Syaikh berkata: Karāmah bukanlah engkau bisa terbang di udara, melainkan engkau tetap teguh menjalankan perintah Allah, baik dalam sepi maupun ramai.”
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa keajaiban spiritual bukan tujuan akhir, melainkan konsekuensi dari hati yang ikhlas. Di tengah masyarakat kita yang sering terpesona oleh hal-hal instan, pesan ini memberi keseimbangan: kesetiaan pada Allah adalah karāmah terbesar.
Tradisi Sebagai Penopang Jiwa Sosial
Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan bahwa tradisi manāqiban memperkuat solidaritas. Saat ada hajatan, kesulitan, atau musibah, masyarakat berkumpul membaca manāqib. Anak-anak kecil mendengar kisah-kisah wali, orang tua meneteskan air mata, dan pemuda belajar tentang sabar serta istiqamah.
Hadis Nabi ﷺ menegaskan pentingnya kebersamaan dalam kebaikan:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti bangunan, saling menguatkan satu sama lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Majelis manāqiban adalah bangunan sosial itu—ruang di mana iman, doa, dan cinta kepada Allah menguatkan fondasi masyarakat.
Suara Sang Syaikh dalam Kitab Manāqib
Dalam kitab ini, kita menemukan ajaran yang lembut sekaligus tegas. Salah satunya adalah:
قال الشيخ: إذا أردت وجه الله فلا تلتفت إلى وجوه الخلق
“Syaikh berkata: Jika engkau menginginkan wajah Allah, janganlah engkau menoleh kepada wajah makhluk.”
Kalimat itu adalah panggilan untuk melepaskan ketergantungan pada penilaian manusia. Betapa relevan bagi generasi kita yang sering terjebak dalam validasi media sosial.
Kutipan lain berbunyi:
قال الشيخ: الطريق إلى الله مملوءة بالعقبات، ولكنها تُزهِر باليقين لمن صبر
“Syaikh berkata: Jalan menuju Allah penuh dengan rintangan, tetapi ia akan berbunga dengan keyakinan bagi siapa yang sabar.”
Pesan ini menenangkan hati para pencari: perjalanan spiritual tidaklah mudah, tetapi penuh janji keindahan.
Pulang ke Allah: Inti dari Semua Kisah
Setiap kisah dalam manāqib adalah undangan untuk kembali kepada Allah. Karāmah, doa, dan nasihat sang Syaikh hanyalah tanda-tanda jalan. Inti dari perjalanan itu adalah pulang.
Allah berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan (kematian).” (QS. Al-Hijr: 99)
Ayat ini adalah simpul perjalanan. Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, melalui kisah-kisah manāqibnya, mengingatkan bahwa hidup hanyalah perjalanan singkat. Setiap langkah, jika diiringi dengan dzikir, sabar, dan cinta, akan mengantar kita kepada kepulangan yang damai.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
