Khazanah
Beranda » Berita » Musibah Terbesar: Terhalang dari Dekat dengan Allah

Musibah Terbesar: Terhalang dari Dekat dengan Allah

Musibah Terbesar: Terhalang dari Dekat dengan Allah

Musibah Terbesar: Terhalang dari Dekat dengan Allah.

SURAU.CO – Ketika kita mendengar kata musibah, pikiran kita sering tertuju pada bencana alam, kehilangan orang tercinta, sakit yang berkepanjangan, atau kesulitan ekonomi. Namun, sesungguhnya musibah terbesar bukanlah itu semua. Musibah yang paling mengerikan adalah ketika seorang hamba terhalang dari jalan untuk dekat kepada Allah.

Musibah yang sesungguhnya adalah hilangnya rasa ingin beribadah. Hati menjadi beku, tidak ada kerinduan untuk memperbaiki shalat, tidak ada dorongan untuk membaca Al-Qur’an, dan tidak ada getaran hati untuk berdzikir. Bahkan yang lebih menakutkan, hati tidak lagi merasa bersalah atas kelalaian yang dilakukan. Inilah puncak kehampaan seorang manusia.

Hati yang Keras: Bencana yang Nyata

Allah ﷻ berfirman:

> “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka celakalah mereka yang keras hatinya dari mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22)

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Ayat ini menegaskan bahwa hati yang keras dan enggan mengingat Allah adalah bencana yang nyata. Sementara dunia bisa saja tampak berjalan lancar—rezeki tetap mengalir, pekerjaan tetap ada, bisnis tetap maju—namun sesungguhnya itu adalah istidraj, yaitu kelapangan yang Allah berikan untuk semakin menjauhkan hamba dari-Nya.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

> “Apabila kamu melihat Allah memberikan kepada seorang hamba dunia yang ia sukai, padahal ia tetap bergelimang dalam kemaksiatan, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj (jebakan dari Allah).” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi)

Betapa banyak manusia merasa aman dalam hidupnya, padahal ia jauh dari Allah. Ia merasa tidak ada masalah, padahal yang sebenarnya terjadi adalah Allah sedang membiarkannya larut dalam kelalaian.

Hati yang Hidup vs. Hati yang Mati

Hati yang hidup akan selalu resah jika jauh dari Allah. Ia merasa kehilangan ketika lalai dari shalat, hatinya gundah jika jarang membaca Al-Qur’an, dan gelisah jika lisannya kering dari dzikir. Rasa bersalah itu adalah tanda bahwa hati masih hidup.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Sebaliknya, hati yang mati merasa tenang-tenang saja ketika meninggalkan shalat, tidak peduli ketika berhari-hari tidak membuka mushaf, dan merasa tidak ada yang salah ketika waktu dihabiskan untuk hal sia-sia. Ia bahkan bisa tertawa dalam kelalaian, tanpa pernah merasa hampa karena jauh dari Tuhannya.

Inilah musibah terbesar—ketika hati tidak lagi menjerit, tidak lagi merasa butuh pada Allah, dan tidak lagi rindu pada sujud.

Menghidupkan Kembali Rasa Butuh pada Allah

Jalan kembali selalu terbuka. Selama nyawa belum sampai di tenggorokan, pintu taubat tidak pernah tertutup. Kuncinya adalah menumbuhkan kembali rasa butuh pada Allah.

1. Paksa diri untuk shalat tepat waktu. Meskipun awalnya berat, keterpaksaan itu akan melahirkan kebiasaan, dan kebiasaan akan melahirkan kelezatan.

2. Luangkan waktu untuk Al-Qur’an. Tidak harus banyak, mulailah dengan satu halaman setiap hari. Yang penting adalah konsistensi.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

3. Perbanyak dzikir. Dengan dzikir, hati akan kembali lembut. Allah berjanji, “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

4. Berkumpul dengan orang shalih. Lingkungan sangat memengaruhi hati. Dekat dengan majelis ilmu dan orang-orang yang taat akan membuat iman lebih mudah tumbuh.

Penutup: Musibah Terbesar Ketika Hati Kehilangan Kedekatan Dengan Allah

Musibah terbesar bukanlah kehilangan harta, bukan sakit, bukan pula kegagalan duniawi. Musibah terbesar adalah ketika hati kehilangan rasa ingin untuk dekat dengan Allah. Karena pada saat itu, seseorang sedang berjalan menuju kehancuran yang sesungguhnya.

Maka mari kita berdoa agar Allah selalu menjaga hati kita, melembutkannya, dan menanamkan kerinduan untuk terus mendekat kepada-Nya.

> “Ya Allah, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi Karunia.” (QS. Ali ‘Imran: 8). Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat (Tengku Iskandar, M. Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement