Surau.co. Kitab Manāqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah salah satu warisan spiritual yang tak pernah padam cahayanya. Di dalamnya terhimpun kisah tentang seorang wali yang hidupnya dipenuhi karāmah, namun justru beliau menegaskan: jangan berhenti pada karāmah, sebab ia hanyalah cermin, bukan tujuan perjalanan. Frasa ini relevan bagi kita di Indonesia hari ini, ketika banyak orang mengejar simbol-simbol lahiriah dan melupakan hakikat batin.
Mengapa Karāmah Sering Menggoda?
Di kampung-kampung Nusantara, pembacaan manāqib menjadi tradisi yang mengikat hati umat. Ketika nama Abdul Qadir disebut, wajah-wajah berseri, hati menjadi lembut. Namun ada satu pesan penting: jangan menjadikan karāmah sebagai pusat perhatian.
Dalam manāqib disebutkan:
« مَا ظَهَرَتِ الْكَرَامَةُ عَلَى يَدِهِ إِلَّا لِيَزْدَادَ بِهَا الْعِبَادُ إِيمَانًا، لَا لِيَكُونَتْ غَايَةً »
“Tidaklah karāmah tampak melalui tangannya kecuali untuk menambah iman hamba-hamba, bukan untuk menjadi tujuan.”
Betapa indah ungkapan itu: karāmah hanyalah jendela, bukan rumah. Ia sekadar tanda di jalan, bukan puncak pendakian.
Cermin untuk Melihat Wajah Allah
Karāmah ibarat cermin yang jernih. Ia memantulkan cahaya Allah, tetapi bukan cahaya itu sendiri. Di sinilah letak pelajaran yang dalam dari kitab Manāqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Beliau berkata dalam salah satu riwayat:
« مَنْ شَغَلَتْهُ الْكَرَامَةُ فَقَدْ بَعُدَ، وَمَنْ شَغَلَهُ الْمَكْرُمُ فَقَدْ قَرُبَ »
“Barang siapa sibuk dengan karāmah, ia telah jauh; barang siapa sibuk dengan Sang Pemilik karāmah, ia telah dekat.”
Kata-kata itu seakan menusuk hati kita yang seringkali terjebak dalam pencarian keajaiban lahiriah. Padahal, yang lebih penting adalah hadirnya Allah di setiap denyut napas.
Realitas Sosial Indonesia: Antara Pencarian dan Kesibukan
Fenomena di masyarakat kita sering kali menunjukkan betapa manusia mudah silau. Ada yang mengejar benda bertuah, mendatangi tempat keramat, berharap keberuntungan instan. Di sisi lain, ada pula yang mencibir tradisi manaqiban tanpa benar-benar memahami isinya.
Tradisi membaca manāqib sebenarnya adalah ruang refleksi. Ketika jamaah duduk bersila, membaca dengan lirih, itu adalah momen penjernihan hati. Seperti firman Allah:
﴿ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ﴾
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. al-Hujurat: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa yang utama bukan karāmah yang terlihat mata, melainkan takwa yang tumbuh di dalam dada.
Karāmah dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam Manāqib juga dikisahkan:
« كَانَ سَيِّدِي إِذَا مَشَى فِي الطَّرِيقِ تَبِعَتْهُ النُّفُوسُ، لَا لِكَرَامَةٍ تُبْهِرُهُمْ بَلْ لِسُكُونٍ يَجِدُونَهُ فِي حَضْرَتِهِ »
“Sayyidiku ketika berjalan di jalan, jiwa-jiwa mengikutinya. Bukan karena karāmah yang menakjubkan mereka, melainkan karena ketenangan yang mereka rasakan dalam kehadirannya.”
Betapa dalam maknanya. Karāmah sejati bukanlah terbang di udara atau berjalan di atas air, melainkan menghadirkan ketenangan yang membuat hati orang lain damai.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, ketenangan itu tercermin saat jamaah pulang dari manaqiban dengan hati lebih ringan, lebih sabar menghadapi hidup, lebih mudah memaafkan. Itulah karāmah yang nyata: perubahan batin.
Ketika Ego Meleleh dalam Doa
Kitab Manāqib juga menyinggung:
« كَانَ يَقُولُ: أَفْنُوا أَنْفُسَكُمْ فِي الدُّعَاءِ، فَإِنَّ فِيهِ ذَوْبَانَ الْأَنَا »
“Ia berkata: Hancurkanlah diri kalian dalam doa, karena di dalamnya ego meleleh.”
Doa menjadi jalan untuk menghancurkan kesombongan. Inilah ajaran yang begitu relevan. Di tengah budaya kompetisi, pamer, dan hiruk-pikuk media sosial, doa menghadirkan ruang sunyi tempat ego larut. Dari sanalah lahir manusia yang lebih rendah hati, lebih peka pada sesama.
Menutup Perjalanan dengan Cahaya
Karāmah hanyalah pantulan. Hakikat perjalanan adalah Allah. Membaca Manāqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengingatkan kita untuk tidak berhenti pada cerita ajaib, tetapi menggali makna terdalam: menjadi manusia yang dekat dengan Allah, lembut pada sesama, dan sabar dalam hidup.
Nama Abdul Qadir dibalut doa dan salawat bukan untuk menyanjung manusia, melainkan sebagai jalan mengingat Allah yang dihidupkan dalam dirinya. Inilah karāmah terbesar: membangkitkan cinta kepada Sang Maha Cinta.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
