Khazanah
Beranda » Berita » Baghdad yang Gelap, Menjadi Terang oleh Nafas Sang Wali

Baghdad yang Gelap, Menjadi Terang oleh Nafas Sang Wali

Ilustrasi Baghdad yang gelap menjadi terang karena doa Syekh Abdul Qadir.
Ilustrasi Baghdad abad pertengahan yang diterangi cahaya spiritual dari seorang wali.

Surau.co. Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī bukan sekadar kitab kisah; ia adalah cermin samudera tempat cahaya Allah memantul melalui hati seorang kekasih-Nya. Sejak awal kita membacanya, terasa betapa gelapnya Baghdad tanpa cahaya itu. Namun, ketika sang wali bernafas, udara kota yang berdebu berubah harum, seperti taman yang baru saja disirami hujan.

Nafas Sang Wali yang Menenangkan Jiwa

Dalam kitab manaqib terdapat kisah:

“إِذَا جَلَسَ الشَّيْخُ فِي مَجْلِسِهِ، فَإِنَّ الذِّكْرَ يَسْرِي كَالرِّيحِ فِي قُلُوبِ الْحَاضِرِينَ”
“Apabila sang Syekh duduk dalam majelisnya, maka dzikir mengalir seperti angin di dalam hati orang-orang yang hadir.”

Ayat ini menggambarkan bagaimana nafas sang wali bukan sekadar hembusan udara, melainkan dzikir yang menembus dada. Karena itu, di tengah hiruk-pikuk kota besar, beliau hadir sebagai penenang. Demikian pula di zaman kita: ketika televisi bising dan media sosial gaduh, manaqib tetap hadir untuk mengajarkan keheningan.

Fenomena Sosial: Manaqiban di Indonesia

Di banyak daerah Indonesia, terutama di Jawa, tradisi manaqiban menjelma momen sosial yang hangat. Warga berkumpul setiap malam Jumat, membaca kisah Syekh Abdul Qadir. Sebagian membawa nasi berkat, sebagian lagi hanya datang dengan doa. Semua duduk bersama, tanpa memandang pangkat maupun harta.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kebersamaan ini mengingatkan pada firman Allah:

“إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ”
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Ḥujurāt: 10)

Dengan demikian, manaqiban menjadikan saudara seiman benar-benar merasakan persatuan. Orang kaya dan miskin sejajar dalam barisan, karena hati mereka bersatu oleh cinta kepada Allah melalui cahaya sang wali.

Baghdad yang Gelap Menjadi Terang

Syaikh Abdul Qadir lahir di Baghdad pada masa penuh kekacauan politik dan keruntuhan moral. Namun beliau membawa cahaya yang tidak pernah padam. Dalam manaqib tertulis:

“كَانَتْ بَغْدَادُ فِي زَمَانِهِ مُمْتَلِئَةً بِالظُّلْمِ، فَأَصْبَحَتْ بِنُورِهِ بَلْدَةً مُطْمَئِنَّةً”
“Baghdad pada zamannya penuh dengan kezaliman, namun dengan cahayanya menjadi negeri yang tenteram.”

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Kisah ini jelas bukan dongeng. Ia memberi pelajaran bahwa satu hati yang jernih dapat mengubah suasana satu kota. Bahkan di negeri kita pun demikian. Ketika seorang kiai atau guru hadir dengan ketulusan, desa yang tadinya gaduh bisa berubah damai.

Nafas yang Membakar Ego

Keistimewaan Syaikh Abdul Qadir tidak hanya terletak pada karāmah, melainkan juga pada perjuangannya menghancurkan ego. Dalam manaqib beliau berkata:

“قَالَ الشَّيْخُ: أَعْدَاءُ الْإِنْسَانِ نَفْسُهُ، فَمَنْ غَلَبَهَا أَضَاءَتْ لَهُ الطَّرِيقُ”
“Syekh berkata: Musuh manusia adalah dirinya sendiri. Barangsiapa mengalahkannya, maka jalan akan diterangi untuknya.”

Dari sini kita belajar: Baghdad menjadi terang bukan karena kekuatan militer atau bangunan megah, melainkan karena ada seorang wali yang menyalakan pelita dalam dirinya, lalu cahayanya menyebar ke sekeliling.

Manaqib sebagai Cermin Hidup Kita

Sering kali orang menganggap tradisi manaqiban hanya sebatas ritual. Padahal, ia sesungguhnya merupakan cermin kehidupan. Kisah sang wali menampar kita untuk bertanya: apakah nafas kita menyejukkan, atau justru membuat sekitar gelap?

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Dalam kitab manaqib disebutkan pula:

“إِذَا نَطَقَ الشَّيْخُ بِكَلِمَةٍ، أَحْيَتْ قَلْبًا مَيِّتًا”
“Apabila sang Syekh mengucapkan satu kalimat, ia menghidupkan hati yang mati.”

Pelajaran ini amat dalam. Kata-kata ternyata bisa menjadi nafas yang memberi kehidupan, asalkan keluar dari hati yang bersih.

Penutup: Menghirup Cahaya Baghdad

Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī tidak hanya berisi sejarah. Lebih dari itu, ia adalah pelajaran hidup. Kitab ini mengingatkan bahwa setiap manusia bisa menjadi nafas yang menyejukkan, asalkan ia jujur kepada Allah. Baghdad yang pernah gelap menjadi terang karena kehadiran seorang kekasih Allah.

Begitu pula Indonesia. Di tengah kegaduhan sosial dan politik, umat tetap bisa menemukan oase: dzikir, manaqiban, dan cinta kepada wali. Pada akhirnya, bukan jumlah kata yang kita ucapkan yang membuat hidup terang, melainkan kualitas nafas yang membawa cahaya Allah.

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement