SURAU.CO. Sejarah umat manusia terdahulu tidak hanya tentang kisah-kisah kejayaan, tetapi juga tragedi besar akibat kezhaliman. Banyak catatan tentang kaum-kaum terdahulu yang dibinasakan Allah SWT akibat kedurhakaan dan kezhaliman mereka. Salah satu kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah tentang kaum Madyan, kaum yang menjadi tempat dakwah Nabi Syuaib as. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang hidup di daerah subur dan ramai perdagangan, namun perilaku mereka menyimpang dari nilai-nilai keadilan. Alih-alih menjaga integritas dalam bermuamalah, mereka justru menodai transaksi dengan kecurangan, penipuan, dan kezaliman, termasuk dalam masalah upah dan timbangan.
Kaum Madyan dan Kezaliman Ekonomi
Kaum Madyan tinggal di wilayah yang kini diyakini berada di sekitar perbatasan Yordania, Arab Saudi, dan Syam. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang makmur dengan aktivitas perdagangan yang ramai. Namun, kemakmuran itu tidak menjadikan mereka bersyukur, melainkan semakin angkuh. Mereka terbiasa menipu dalam takaran dan timbangan. Ketika membeli, mereka menuntut agar dilebihkan, tetapi ketika menjual, mereka mengurangi timbangan. Bentuk kezaliman ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga merusak kepercayaan sosial dan sistem ekonomi masyarakat.
Allah SWT mencatat perilaku mereka dalam firman-Nya:
“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib. Ia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (makmur), dan sesungguhnya aku khawatir terhadap kamu akan azab pada hari yang membinasakan (kiamat).’” (QS Hud: 84)
Ayat ini menunjukkan bahwa kezaliman ekonomi, termasuk kecurangan dalam perdagangan, bukan sekadar dosa sosial, melainkan juga bentuk kedurhakaan kepada Allah. Kemudian, Allah SWT mengutus Nabi Syuaib as untuk mengingatkan mereka agar kembali ke jalan yang benar.
Selain curang dalam timbangan, para mufasir juga menafsirkan bahwa kaum Madyan kerap zalim terhadap pekerja. Mereka menunda pembayaran upah, mengurangi hak buruh, bahkan menipu dengan memberikan bayaran yang tidak sesuai kesepakatan. Padahal Islam memandang pengupahan sebagai amanah besar.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah berfirman: Ada tiga golongan yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat; (salah satunya adalah) seseorang yang memperkerjakan orang lain, tetapi tidak membayar upahnya setelah pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menegaskan bahwa Allah sendiri akan menjadi musuh orang-orang yang zalim terhadap pekerja. Betapa besarnya ancaman bagi mereka yang menahan atau mengurangi upah, sebagaimana dilakukan oleh kaum Madyan.
Azab bagi Kaum Madyan
Kesombongan membuat kaum Madyan menolak nasihat Nabi Syuaib as. Mereka justru mengejek, bahkan mengancam akan mengusir beliau bersama para pengikutnya. Akibat kesombongan dan kezhaliman mereka, Allah menurunkan azab yang sangat pedih.
Awalnya mereka ditimpa hawa panas yang teramat dahsyat. Kendati mereka mencari tempat perlindungan, panas itu tetap membakar tubuh mereka. Setelah itu, datanglah awan hitam yang mereka kira sebagai pertolongan. Namun ternyata, dari awan itu turun azab berupa gempa dahsyat yang membinasakan mereka.
Allah SWT berfirman, “Kemudian mereka mendustakan Syuaib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi oleh awan. Sesungguhnya itu adalah azab pada hari yang besar.” (QS Asy-Syu’ara: 189)
Azab ini menjadi peringatan keras bahwa kesombongan dan kezaliman dalam ekonomi merupakan dosa besar. Akibatnya bisa mendatangkan kehancuran, meskipun sebuah kaum tampak makmur dari luar.
Relevansi Kisah Kaum Madyan bagi Dunia Modern
Kisah kaum Madyan tidak sekadar menjadi catatan sejarah, melainkan peringatan bagi umat manusia. Meski kisah ini terjadi ribuan tahun lalu, praktik zalim ala kaum Madyan masih sering kita jumpai pada zaman modern ini. Banyak pekerja di zaman modern yang tidak mendapatkan haknya secara layak. Ada yang dibayar di bawah standar atau tidak sesuai kesepakatan, ada pula yang ditahan upahnya berbulan-bulan. Bahkan dalam skala besar, praktik korupsi, monopoli, dan manipulasi harga yang menghancurkan keadilan ekonomi.
Islam menolak semua bentuk ketidakadilan ini. Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya memberi hak pekerja tepat waktu, “Berikanlah pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menegaskan bahwa pekerja harus dihargai, dan haknya tidak boleh ditunda. Dengan demikian, seorang majikan bukan hanya menunaikan kewajiban hukum, tetapi juga sedang menjalankan ibadah sosial yang bernilai di sisi Allah SWT.
Al-Qur’an berulang kali menekankan pentingnya berlaku adil dalam urusan ekonomi. Allah SWT berfirman, “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya…” (QS Al-An‘am: 152)
Ayat ini memberi panduan jelas bahwa setiap transaksi, termasuk pengupahan, harus dilandasi dengan keadilan. Keadilan bukan hanya untuk keuntungan majikan atau pekerja, melainkan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh keberkahan.
Pesan Moral dari Kisah Nabi Syuaib as
Dari kisah ini, terdapat beberapa pelajaran penting yang relevan sepanjang zaman. Pertama, keadilan dalam ekonomi adalah fondasi keberkahan. Ketidakjujuran, penindasan, dan penipuan dalam perdagangan akan menghancurkan masyarakat dari dalam. Kedua, hak pekerja adalah amanah besar. Rasulullah SAW menegaskan bahwa orang yang menahan upah akan berhadapan langsung dengan Allah pada hari kiamat. Ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dalam timbangan syariat.
Ketiga, kesombongan selalu mengundang kehancuran. Kaum Madyan merasa makmur dan tidak membutuhkan nasihat, namun kesombongan itulah yang menjerumuskan mereka ke dalam kebinasaan. Allah telah memperingatkan, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong. Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS Al-Isra’: 37)
Keempat, setiap transaksi dalam Islam bernilai ibadah. Dalam Islam, muamalah bukan sekadar hubungan bisnis, melainkan bagian dari ketaatan kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi) Hadis ini menegaskan bahwa berlaku jujur dalam perdagangan atau pengupahan bukan sekadar etika bisnis, melainkan jalan menuju kemuliaan di akhirat.
Belajar dari Kehancuran Kaum Madyan
Kaum Madyan telah memberikan pelajaran pahit tentang akibat kezhaliman dalam pengupahan dan perdagangan. Mereka hidup dalam kemakmuran, tetapi karena keserakahan, mereka binasa dengan azab yang pedih. Kisah ini seharusnya menjadi cermin bagi kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dunia modern dengan segala kemajuan ekonomi tetap memerlukan nilai-nilai keadilan yang diajarkan Islam. Memberi upah secara adil, tepat waktu, dan penuh keikhlasan bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga jalan menuju keberkahan hidup.
Allah SWT telah memperingatkan dalam firman-Nya, “Belumkah datang kepada mereka berita tentang orang-orang sebelum mereka, kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan negeri-negeri yang telah musnah? Rasul-rasul telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan yang nyata. Maka Allah tidaklah menzhalimi mereka, tetapi merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri.” (QS At-Taubah: 70)
Semoga kita mampu mengambil ibrah dari kehancuran kaum Madyan, sehingga kita menegakkan keadilan dalam setiap transaksi, menjaga amanah dalam pengupahan, dan menjadikan aktivitas ekonomi sebagai jalan menuju ridha Allah SWT. Jika nilai-nilai ini kita tegakkan, maka bukan hanya kesejahteraan dunia yang kita peroleh, tetapi juga ridha Allah SWT di akhirat kelak.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
