Kisah
Beranda » Berita » Kisah Nabi Nuh dan kapal Raksasanya

Kisah Nabi Nuh dan kapal Raksasanya

Kisah Nabi Nuh dan kapal Raksasanya
Kisah Nabi Nuh dan kapal Raksasanya

SURAU.CO – Allah mengutus Nabi Nuh kepada kaumnya yang hidup dalam kesesatan dan kekafiran. Mereka menyembah berhala, mengikuti hawa nafsu, serta menolak ajaran tauhid. Nabi Nuh diutus untuk meluruskan jalan mereka agar kembali menyembah Allah yang Maha Esa.

Nabi Nuh mengajak kaumnya dengan penuh kelembutan. Ia menasihati siang dan malam. Beliau berkata:

“Wahai kaumku! Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian. Sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah padaku.” (QS. Nuh: 2-3)

Namun, sebagian besar kaum Nuh menolak dakwah tersebut. Mereka bahkan menuduh Nabi Nuh gila, pembohong, dan hanya mencari perhatian.

Meski demikian, Nabi Nuh tidak pernah menyerah. Beliau terus menyampaikan risalah selama ratusan tahun. Al-Qur’an menyebutkan:

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

“Maka sesungguhnya dia (Nuh) tinggal di antara mereka selama seribu tahun kurang puluh lima tahun…” (QS. Al-‘Ankabut: 14)

Namun, dari sekian lama waktu itu, hanya sedikit orang yang beriman.

Penolakan Kaum Nuh

Kaum Nuh bukan hanya menolak, tetapi juga memutarbalikkan tentang Nabi Nuh. Mereka menutup telinga ketika mendengar dakwah, bahkan menutupi wajah dengan pakaian agar tidak melihatnya. Al-Qur’an menggambarkan sikap mereka:

“Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari-jari mereka ke telinga mereka, menutupkan bajunya (ke wajah), dan mereka tetap (mengingkari) serta sangat menyombongkan diri.” (QS. Nuh : 7)

Mereka juga beralasan bahwa pengikut Nabi Nuh hanyalah orang-orang miskin dan lemah. Kaum yang merasa tinggi derajatnya menganggap hina bila harus duduk bersama golongan itu.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Perintah Membangun Bahtera

Allah kemudian memerintahkan Nabi Nuh membangun kapal besar di daratan. Perintah itu menjadi tanda akan datangnya banjir besar sebagai azab bagi kaum yang mendustakan. Allah berfirman:

Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu berdiskusi dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Hud : 37)

Hari demi hari, Nabi Nuh bersama pengikut setianya mulai bekerja bahtera. Ukurannya sangat besar, cukup untuk menampung banyak manusia dan hewan.

Saat Nabi Nuh bekerja, kaumnya mengejek dengan tawa. Namun Nabi Nuh menjawab:

“Jika kamu memperolok-olok kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan memperolok-olok kamu sebagaimana kamu memperolok-olok (kami).” (QS. Hud : 38)

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Momen Banjir Besar

Setelah bahtera selesai, Allah memerintahkan Nabi Nuh bersiap. Allah memberi tanda bahwa ketika air mulai keluar dari bumi, saat itulah peringatan akan datang. Nabi Nuh diminta membawa pengikutnya serta membawa setiap jenis sepasang hewan agar mereka selamat dari banjir besar.

Ketika saat yang dijanjikan tiba, Hujan deras turun tanpa henti dari langit. Pada saat yang sama, air keluar dari dalam bumi. Laut meluap, sungai meluap, dan daratan mulai terendam. air datang dari segala arah, menggenangi setiap rumah dan kebun.

Kaum Nuh yang sebelumnya mengejek, kini panik. Mereka mencari perlindungan, namun tidak ada tempat yang aman selain bahtera. Nabi Nuh dan pengikutnya segera naik ke atas kapal bersama hewan-hewan yang sudah dipersiapkan. Pintu bahtera tertutup rapat, dan kapal itu mulai mengapung di atas air bah yang semakin tinggi.

Bahtera itu akhirnya mengarungi gelombang besar laksana gunung. Sementara itu, seluruh kaum yang mendustakan Nabi Nuh tenggelam.

Kisah Anak Nabi Nuh

Anak Nabi Nuh sendiri termasuk orang yang tidak beriman. Ketika air mulai meninggi, Nabi Nuh mengajak dengan penuh kasih sayang. Ia berkata, “Wahai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah kamu termasuk orang-orang kafir.”

Namun, anak Nabi Nuh itu menolak. Ia berkata bahwa ia akan menyelamatkan dirinya dengan naik ke puncak gunung. Nabi Nuh menjawab bahwa tidak ada yang bisa selamat dari azab Allah selain orang yang mendapat rahmat-Nya. Tak lama kemudian, gelombang besar datang dan menenggelamkan anak itu.

Peristiwa ini menjadi pelajaran bahwa iman tidak bisa diwariskan hanya karena hubungan darah. Keselamatan hanya datang melalui keimanan kepada Allah.

Akhir Banjir dan Turunnya Bahtera

Banjir besar berlangsung dalam waktu lama hingga menenggelamkan seluruh daratan. Tidak ada yang selamat kecuali mereka berada di dalam bahtera. Setelah Allah selesai mengazab mereka yang kufur, hujan pun berhenti, air surut, dan bumi kembali tenang.

Bahtera Nabi Nuh akhirnya berlabuh di sebuah tempat bernama Bukit Judi, yang kini berada di wilayah Turki. Dari sanalah kehidupan baru dimulai. Nabi Nuh dan pengikutnya turun dari bahtera, memulai kehidupan baru dengan penuh syukur kepada Allah.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement