Khazanah
Beranda » Berita » Hati dan Otak: Kolaborasi yang Menentukan Arah Hidup

Hati dan Otak: Kolaborasi yang Menentukan Arah Hidup

Hati dan Otak: Kolaborasi yang Menentukan Arah Hidup

Hati & Otak: Kolaborasi yang Menentukan Arah Hidup.

SURAU.CO – Allah menciptakan manusia dengan dua anugerah besar yang menjadi pusat kendali hidupnya, yaitu hati dan otak. Keduanya ibarat perangkat keras (hardware) yang tidak akan berarti apa-apa jika tidak diisi dengan perangkat lunak (software) yang tepat. Namun, meski sama-sama penting, keduanya memiliki peran yang berbeda dan saling melengkapi.

Hati sebagai pusat rasa

Hati memuat software berupa perasaan dan nilai: iman atau kufr, cinta atau benci, prasangka baik atau buruk. Semua itu tersimpan di dalamnya, menjadi penentu arah batin manusia.

Hati adalah ruang kehalusan rasa, tempat bersemayamnya iman, kasih sayang, sekaligus potensi kebencian.

Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Fenomena Flexing Sedekah di Medsos: Antara Riya dan Syiar Dakwah

Otak sebagai pusat logika

Berbeda dengan hati, otak memuat software berupa logika. Ia mengatur cara berpikir, menganalisis, dan menimbang sesuatu. Otak bekerja dengan rasionalitas: menghubungkan sebab-akibat, menghitung, menyusun strategi, dan memproses data. Kita bisa menggunakan teknologi modern untuk menggantikan sebagian fungsi otak, seperti kalkulator untuk menghitung, mesin untuk memproses, dan kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis data. Namun, tak ada teknologi yang bisa merasakan iman, cinta, kasih sayang, atau kerinduan kepada Allah.

Hati sebagai penentu arah logika: Meski otak dapat berpikir, hanya hati yang mampu memberi arah. Logika bisa digunakan untuk kebaikan atau keburukan, tergantung pada bagaimana hati mengendalikannya.

Jika hati dipenuhi iman, cinta, dan keikhlasan, maka logika akan bekerja untuk kebaikan, membangun peradaban, dan menebar rahmat. Namun, jika hati dipenuhi kesombongan, kebencian, atau kufr, maka logika bisa dipakai untuk merusak, menzalimi, bahkan menghancurkan sesama.

Pelajaran bagi kita

Di zaman modern ini, banyak hal bisa digantikan oleh mesin dan teknologi. Tetapi satu hal yang tak tergantikan adalah fungsi hati. Tak ada kecerdasan buatan yang mampu menandingi keikhlasan doa seorang ibu, ketulusan seorang sahabat, atau iman yang menggerakkan seorang hamba untuk sujud di sepertiga malam.

Karena itu, kita perlu selalu menjaga kebersihan hati dengan dzikir, doa, dan amal shalih, agar logika dan pikiran kita selalu diarahkan pada kebaikan. Jangan biarkan hati kita dipenuhi oleh penyakit, karena itu akan menyesatkan logika dan menjerumuskan pada keburukan.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Kesimpulan: Otak membantu kita berpikir, tetapi hati yang menentukan ke mana arah langkah itu pergi. Jika hati baik, pikiran dan tindakan pun akan baik. Jika hati rusak, sehebat apa pun logika yang dimiliki, ia bisa membawa pada kehancuran.

 

 

 

 

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?


Sepinya Jalan Subuh dan Ramainya Jalan Dunia.

 

Jika kita perhatikan, ada fenomena menarik yang terjadi setiap hari. Pada waktu subuh, jalanan begitu sepi. Hanya ada segelintir orang yang terbangun untuk menunaikan shalat dan memulai hari dengan cahaya iman. Namun, ketika jam kerja tiba, jalanan mendadak penuh sesak dengan kendaraan, orang bergegas ke kantor, pasar, atau sekolah.

Seakan-akan keadaan ini sedang bercerita kepada kita: betapa besar cinta manusia terhadap urusan dunia, dan betapa berat langkahnya untuk urusan akhirat.

Subuh adalah ujian kecintaan: Bangun di waktu subuh bukan hanya perkara membuka mata, tetapi ujian sejauh mana hati kita merindukan perjumpaan dengan Allah. Jika untuk dunia kita bisa berangkat pagi-pagi sekali, mengapa untuk Allah kita sering enggan?

Ramai untuk dunia, sepi untuk akhirat: Manusia rela berdesakan di jalan demi bekerja mencari nafkah. Itu memang penting, sebab dunia adalah ladang untuk akhirat. Namun, alangkah indahnya jika semangat itu juga dibawa ketika azan subuh berkumandang.

Pertanyaan untuk diri sendiri: Sudahkah kita menyibukkan diri di waktu subuh sebagaimana kita sibuk di jam kerja?

Apakah hati kita lebih lapang untuk dunia daripada untuk Allah?

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Seandainya mereka mengetahui apa yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Renungan: Sepinya jalan di waktu subuh seharusnya menjadi peluang bagi kita untuk menonjol di sisi Allah. Jangan sampai kita termasuk orang yang kalah oleh kantuk, padahal dunia terus memanggil dengan hiruk-pikuknya.

Mari kita ubah keadaan: semoga jalan-jalan menuju masjid di waktu subuh semakin ramai, dan hati kita semakin cinta kepada akhirat, tanpa melalaikan tanggung jawab dunia. Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat, (Tengku Iskandar, M. Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement