Surau.co. Ketika kita menyebut kitab Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, banyak orang Indonesia segera teringat pada lantunan doa di malam Jumat, bacaan yang penuh harap akan keberkahan. Namun di balik kisah karāmah yang memukau, Syaikh Abdul Qadir bukanlah cermin keajaiban belaka. Ia adalah samudra zuhud, jalan lurus menuju Allah. Pesannya sederhana: jangan berhenti pada karāmah, temukan Sang Maha Karib.
Jalan Zuhud di Tengah Hiruk Pikuk Dunia
Di Indonesia, fenomena pencarian karāmah masih sering kita temukan. Orang rela berziarah jauh, berharap mendapat berkah instan, seakan ruhani bisa digenggam seperti jimat. Padahal, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam Manāqib-nya menekankan jangan cari karāmah ,bahwa inti perjalanan adalah Allah, bukan perhiasan ruhani di sepanjang jalan.
Dalam sebuah riwayat beliau berkata:
«إيّاك أن تقف عند الكرامات، فإنّها استدراج، واطلب الله وحده»
“Jangan sekali-kali engkau berhenti pada karāmah, sebab itu bisa menjadi istidraj (tipu daya), carilah Allah semata.”
Kata-kata ini terasa begitu relevan di tengah masyarakat kita. Banyak yang mendamba mukjizat cepat, namun lupa bahwa buah sejati dari ibadah adalah hati yang tenang, jiwa yang lapang, serta cinta pada sesama.
Cinta yang Menyalakan Jalan
Dalam gaya hidup modern, orang mudah terperangkap pada simbol spiritual: pakaian, komunitas, bahkan status di media sosial. Namun ruh zuhud yang ditunjukkan sang Quthub tidak butuh panggung. Beliau mengingatkan:
«الزهد أن تملك الدنيا ولا يملكك شيء منها»
“Zuhud adalah ketika engkau memiliki dunia, tetapi tak satu pun darinya memiliki dirimu.”
Di sini kita diajak menimbang kembali: apakah gaji, rumah, kendaraan, atau jabatan yang kita genggam benar-benar kita kuasai, atau justru mereka yang menguasai kita?
Menyulam Fenomena Indonesia dengan Hikmah Syaikh
Kita bisa melihat cermin ajaran beliau dalam fenomena sosial di Indonesia. Banyak anak muda berjuang keras mengejar cita-cita duniawi, tetapi justru terjerat burnout dan kesepian. Di tengah gemerlap itu, nilai zuhud ala Syaikh Abdul Qadir menghadirkan keseimbangan: Jangan cari karāmah, bekerjalah sepenuh hati, tapi jangan biarkan hatimu diperbudak hasil kerja.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
﴿وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ﴾ (QS. Āli ‘Imrān: 185)
“Dan tidaklah kehidupan dunia itu melainkan kesenangan yang menipu.”
Ayat ini sejalan dengan napas zuhud yang diajarkan beliau. Dunia bukan tujuan, melainkan kendaraan.
Keikhlasan yang Menggetarkan Murid
Dalam Manāqib, dikisahkan murid-murid beliau sering terpesona dengan karāmah yang muncul. Namun beliau selalu menegaskan, semua itu tidak ada artinya dibanding ridha Allah.
«لا تنظروا إلى عبد القادر، وانظروا إلى من أقام عبد القادر»
“Jangan pandang Abdul Qadir, pandanglah Dia yang menegakkan Abdul Qadir.”
Ungkapan ini begitu lembut, seakan Rumi sendiri yang menulisnya. Syaikh mengajarkan bahwa manusia hanyalah cermin. Yang memantulkan cahaya tetaplah Sang Cahaya itu sendiri.
Menghidupkan Pesan dalam Kehidupan Kita
Bagaimana ajaran ini bisa hidup di Indonesia? Lihatlah fenomena gotong royong desa, ibu-ibu yang tulus menyiapkan konsumsi saat hajatan, atau pemuda yang tanpa pamrih mengatur lalu lintas saat acara kampung. Di sanalah zuhud menjelma: tidak mencari nama, tidak mengharap balasan, hanya mengalir seperti sungai.
Hadis Nabi ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ»
“Sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Syaikh Abdul Qadir pun berjalan di jalan ini: mengikat amal pada niat, bukan pada pujian.
Jalan Menuju Allah, Bukan Sekadar Karāmah
Kisah-kisah dalam Manāqib bukan sekadar dongeng penghibur. Ia adalah penunjuk jalan bagi hati yang haus makna. Bila kita hanya mencari karāmah, kita bisa tersesat dalam bayangan. Namun bila kita mencari Allah, kita akan menemukan cahaya yang abadi.
«من وجد الله فقد وجد كل شيء، ومن فقد الله فقد فقد كل شيء»
“Siapa yang menemukan Allah, ia menemukan segalanya. Siapa yang kehilangan Allah, ia kehilangan segalanya.”
Pesan ini sederhana namun menghunjam. Mari kita belajar dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: jangan cari karāmah, carilah Allah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
