Khazanah
Beranda » Berita » Langkah Zuhud yang Menggetarkan Bumi Baghdad

Langkah Zuhud yang Menggetarkan Bumi Baghdad

Langkah zuhud Syaikh Abdul Qadir Jailani yang menggetarkan bumi Baghdad
Ilustrasi sufi berjalan dengan cahaya di sekelilingnya, simbol bahwa kesederhanaan bisa mengguncang dunia.

Surau.co. Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī adalah kitab yang hingga kini tetap hidup di hati kaum Muslim, dari Baghdad hingga kampung-kampung kecil di Indonesia. Dari mushala sederhana sampai majelis besar, manaqib dibacakan dengan khidmat, seakan menghadirkan kembali sosok sang wali yang zuhud, penuh cinta, dan berwibawa.

Sejak awal, kitab ini tidak hanya mengisahkan karāmah, tetapi juga menuntun pembacanya pada inti: perjalanan batin menuju Allah. Dan di antara bab-babnya, langkah zuhud Syaikh Abdul Qadir yang mengguncang bumi Baghdad adalah kisah paling membekas.

Baghdad yang Riuh, Jiwa yang Tenang

Abad ke-6 Hijriyah, Baghdad adalah kota peradaban: pusat ilmu, perdagangan, dan kekuasaan. Jalan-jalan ramai, pasar penuh suara, dan majelis ilmu bertebaran. Namun di tengah hiruk pikuk itu, lahirlah seorang yang memilih kesederhanaan.

Masyarakat Indonesia hari ini tidak jauh berbeda. Kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya penuh hiruk pikuk modernitas. Namun banyak orang tetap mencari ruang hening—melalui ziarah, dzikir, dan manaqiban. Mereka ingin menemukan kembali jiwa yang tenang.

Al-Qur’an menegaskan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

﴿ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28).

Ayat ini adalah jawaban bagi kegelisahan zaman. Dan Syaikh Abdul Qadir adalah bukti nyata bagaimana hati yang tenteram bisa memantulkan wibawa hingga menentramkan seisi kota.

Zuhud Bukan Menolak Dunia, Tapi Membebaskan Hati

Dalam Manaqib, diriwayatkan:

« كَانَ لَا يَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ، وَلَا يَرْكَنُ إِلَى زِينَةِ الدُّنْيَا »
“Beliau tidak takut pada celaan siapa pun karena Allah, dan tidak condong pada perhiasan dunia.”

Zuhud bukan berarti menolak dunia secara lahiriah, melainkan membebaskan hati dari ketergantungan. Itulah yang membuat beliau kokoh. Bahkan ketika Baghdad terhuyung dalam konflik politik, langkah zuhud beliau memberi ketenangan, seolah bumi ikut bergetar karena keberanian seorang hamba yang merdeka.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Di Indonesia, kita melihat teladan serupa pada kiai kampung. Mereka hidup sederhana, tapi suara mereka dihormati. Ketika berkata, orang-orang mendengarkan, bukan karena retorika, tetapi karena ada nur kebenaran di dalamnya.

Cahaya Wali Sebagai Petunjuk

Dalam riwayat lain disebutkan:

« كَانَ نُورُهُ يَمْلَأُ الْمَجْلِسَ، فَيَشْعُرُ الْجُلَسَاءُ بِالسَّكِينَةِ »
“Cahaya beliau memenuhi majelis, sehingga para hadirin merasakan ketenangan.”

Cahaya itu bukan cahaya mata, melainkan keteduhan jiwa yang bersumber dari dzikir dan ketaatan. Maka tak heran, orang yang duduk bersamanya merasa damai.

Fenomena ini terasa dalam majelis manaqib di Indonesia. Di rumah-rumah yang sederhana, jamaah duduk melingkar membaca riwayat Syaikh Abdul Qadir. Mereka pulang dengan hati lebih ringan, seakan cahaya Baghdad menetes ke kampung mereka.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Ketaatan yang Mengguncang Kekuasaan

Zuhud Syaikh Abdul Qadir bukan pasif, tetapi aktif. Dalam manaqib diceritakan:

« كَانَ يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يَخْشَى الْمُلُوكَ وَالسَّلَاطِينَ »
“Beliau menyeru kepada kebaikan dan tidak gentar pada raja maupun sultan.”

Inilah inti dari langkah zuhud yang menggetarkan Baghdad. Ketaatannya kepada Allah membuat beliau berani menegur penguasa yang zalim. Bukan untuk memberontak, tetapi untuk mengingatkan dengan penuh wibawa.

Di Indonesia, kita sering rindu sosok seperti ini. Pemimpin agama yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga berani menyuarakan kebenaran, meski harus berhadapan dengan kekuatan besar.

Warisan untuk Zaman yang Gelisah

Kini, membaca Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī di era modern bukan sekadar melestarikan tradisi. Ia adalah cara menyalakan kembali api zuhud di tengah gelombang konsumtif.

Rumi pernah berkata, “Jika dunia ini adalah lautan, jadilah kapal. Biarkan ia mengapung, tapi jangan biarkan air masuk ke dalamnya.” Zuhud adalah kapal itu. Dan Syaikh Abdul Qadir adalah nakhoda yang menuntun kita, agar tidak tenggelam dalam ombak zaman.

Penutup: Belajar Menjadi Cermin

Kisah Syaikh Abdul Qadir dalam manaqib tidak berhenti pada kekaguman. Ia adalah undangan untuk menata hidup. Bagaimana kita bisa zuhud di tengah pasar modernitas? Bagaimana kita bisa berani menyuarakan kebenaran tanpa takut celaan? Apakah kita bisa menebar ketenangan di rumah, di kantor, dan di masyarakat?

Jawaban itu ada dalam setiap langkah zuhud beliau yang menggetarkan bumi Baghdad—dan kini, semoga juga menggetarkan hati kita.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement