Khazanah
Beranda » Berita » Air Mata Murid yang Mengalir Jadi Sungai Barakah

Air Mata Murid yang Mengalir Jadi Sungai Barakah

Air mata murid jadi sungai barakah dalam kisah manaqib
Murid yang berdoa di tepi sungai, simbol air mata yang berubah menjadi aliran keberkahan.

Surau.co. Kitab Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī bukan hanya kisah tentang karāmah yang menakjubkan, melainkan juga cermin bagi jiwa yang sedang mencari arah. Di Indonesia, kita sering melihat orang-orang datang ke majelis dzikir, menghadiri haul wali, atau sekadar membaca manaqib dengan suara lirih. Mengapa? Karena di balik cerita yang kadang terdengar seperti keajaiban, ada rahasia yang lebih dalam: panggilan cinta dari Allah.

Ketika murid-murid Syaikh ‘Abd al-Qādir meneteskan air mata saat mendengar nasihatnya, air mata itu bukan sekadar tanda haru, melainkan aliran sungai barakah yang menghidupi hati. Dalam kitab manāqib, kita menemukan kisah bahwa setiap kata Syaikh adalah cahaya, dan setiap langkahnya adalah petunjuk.

Mengapa Kisah Wali Masih Hidup di Tengah Hiruk Pikuk Kota?

Di Indonesia, fenomena haul Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī berlangsung setiap tahun, bahkan di desa-desa kecil. Orang-orang rela menempuh perjalanan jauh, membawa tumpeng, nasi berkat, atau sekadar sebotol air untuk disiram doa. Ada rasa haus akan makna, kerinduan akan sosok yang bisa membimbing hati di tengah dunia yang serba cepat.

Al-Qur’an mengingatkan kita:

﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾
“Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62).

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ayat ini menjadi jembatan antara realitas modern Indonesia dan kisah klasik dalam manāqib. Orang-orang mencari ketenangan, bukan sekadar cerita karāmah, tapi keyakinan bahwa Allah selalu menuntun mereka lewat hamba-hamba-Nya yang ikhlas.

Karāmah Sebagai Panggilan, Bukan Pertunjukan

Dalam Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, tertulis:

« كَانَتْ كَلِمَاتُهُ تُحْيِي الْقُلُوبَ الْمَيِّتَةَ كَمَا تُحْيِي الْمَطَرُ الْأَرْضَ الْجُرُزَ »
“Kata-katanya menghidupkan hati yang mati, sebagaimana hujan menghidupkan tanah yang gersang.”

Kalimat ini memberi pesan mendalam. Karāmah sejati bukanlah terbang di udara atau berjalan di atas air, melainkan kemampuan menyiram jiwa yang kering.

Di masyarakat kita, terlalu sering karāmah dipandang sebagai tontonan. Padahal, yang lebih penting adalah bagaimana ajaran seorang wali mampu membuat seorang pemuda berhenti dari kebiasaan buruknya, atau seorang ibu menemukan kekuatan untuk mendidik anaknya dengan sabar. Itulah barakah yang nyata.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Air Mata Murid dan Sungai Tak Kasat Mata

Kitab manāqib meriwayatkan:

« إِذَا نَظَرَ إِلَيْهِ الْمُرِيدُ بَكَى قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ »
“Ketika seorang murid memandangnya, ia menangis sebelum Syaikh berbicara.”

Air mata itu adalah saksi. Murid menangis bukan karena takut, tapi karena hatinya terbuka. Seperti di Indonesia, kita sering lihat jamaah menitikkan air mata ketika dzikir bersama. Bukan karena ada keajaiban kasat mata, tapi karena ada getaran cinta yang memecahkan dinding hati.

Cinta dan Tunduk pada Allah: Inti dari Semua Karāmah

Syaikh ‘Abd al-Qādir pernah berkata dalam manāqibnya:

« مَنْ أَطَاعَ اللَّهَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مَهَابَةً فِي الْقُلُوبِ »
“Barangsiapa taat kepada Allah, maka Allah menjadikan kewibawaan dalam hati manusia terhadapnya.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Karāmah lahir dari ketaatan, bukan dari ambisi. Seperti para kiai di pesantren Indonesia, yang mungkin tidak pernah terbang di udara, tapi doa-doanya menguatkan ribuan santri. Inilah keberkahan yang mengalir dalam kehidupan sosial kita: guru-guru yang tulus, pemimpin yang sederhana, dan ulama yang membimbing dengan kasih sayang.

Barakah yang Hidup di Tengah Masyarakat

Dalam Manāqib, ada riwayat lain:

« كَانَ يُطْعِمُ الْفُقَرَاءَ وَلَا يَخَافُ الْفَاقَةَ »
“Beliau memberi makan orang-orang fakir tanpa takut jatuh miskin.”

Prinsip ini terasa begitu relevan di Indonesia hari ini. Banyak gerakan sosial lahir dari semangat berbagi, dari komunitas kecil di desa sampai gerakan filantropi modern. Mereka yang meneladani semangat para wali menemukan bahwa barakah lahir dari keberanian memberi, bukan menimbun.

Menjadikan Kisah Wali Sebagai Jalan Hidup

Membaca Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī bukanlah sekadar nostalgia spiritual, tapi sebuah undangan untuk hidup lebih dalam. Di era media sosial, banyak orang mengejar perhatian lewat sensasi. Namun, Syaikh menunjukkan bahwa wibawa lahir dari kesunyian sujud, bukan dari sorotan lampu.

Mungkin inilah yang dimaksud Jalaludin Rumi ketika berkata: “Jangan mencari keajaiban di luar dirimu, sebab mukjizat terbesar adalah hati yang kembali pada Tuhan.”

Air mata murid yang mengalir menjadi sungai barakah, bukan karena Syaikh mengubah air menjadi emas, melainkan karena ia mengubah gelap menjadi cahaya.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement