Khazanah
Beranda » Berita » Di Jalan Sunyi, Hatimu Bertemu Syaikh Abdul Qadir

Di Jalan Sunyi, Hatimu Bertemu Syaikh Abdul Qadir

Ilustrasi membaca Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani di surau desa
Ilustrasi reflektif suasana manakiban di desa, menampilkan keterhubungan spiritual dan sosial.

Kitab Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī telah menjadi cahaya yang melintasi zaman. Di Indonesia, kitab ini bukan sekadar dibaca, melainkan dirayakan dalam tradisi manakiban. Dari desa-desa di Jawa, Madura, hingga kampung-kampung di Sumatera, suara doa dan kisah wali ini mengalun seperti nyanyian rindu. Orang-orang berkumpul, bukan untuk mendengar dongeng, melainkan untuk merasakan aliran kasih dari seorang kekasih Allah.

Dalam manaqib, kita menemukan wajah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: seorang sufi, seorang guru, seorang penunjuk jalan. Beliau bukan hanya dikenal di Baghdad, tetapi juga di hati para petani, nelayan, dan santri di Nusantara.

Frasa kunci Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani terus hidup dalam keseharian umat Islam Indonesia. Ia disebut ketika ada hajat, ia dibaca ketika ada musibah, ia dirayakan ketika ada syukur.

Mengapa Kita Membaca Manāqib

Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan bahwa manakiban adalah tradisi yang merawat kebersamaan. Di tengah hiruk pikuk modernitas, orang desa masih mau meluangkan malam Jumat untuk duduk bersila, membaca doa, dan menyimak kisah sang wali.

Di sana, ibu-ibu menyiapkan kopi, bapak-bapak membawa beras untuk konsumsi bersama, anak-anak berlarian sambil mendengar kisah karāmah. Semua ini bukan sekadar ritual, tetapi jembatan untuk menjaga harmoni sosial.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Seperti firman Allah:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ
“Ingatlah nikmat Allah kepadamu; ketika kamu dahulu bermusuhan lalu Allah mempersatukan hatimu.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 103)

Membaca manaqib adalah salah satu jalan agar hati-hati itu disatukan kembali.

Cahaya dari Kisah-Kisah Karāmah

Kitab Manāqib Syaikh Abdul Qadir Jailani penuh dengan kisah karāmah. Namun, karāmah bukanlah tujuan. Ia hanyalah bunga yang tumbuh di jalan panjang menuju Allah. Yang lebih penting adalah hikmah dan pesan moral di baliknya.

Salah satu kisah dalam manaqib menceritakan:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

قَالَ سَيِّدِي عَبْدُ الْقَادِرِ: مَنْ أَخْلَصَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ أَخْلَصَ اللَّهُ لَهُ كُلَّ شَيْءٍ
“Bersabda Sayyidiku Abdul Qadir: Barangsiapa berikhlas hanya untuk Allah, maka Allah akan menjadikan segala sesuatu tulus kepadanya.”

Kisah ini mengajarkan bahwa inti perjalanan bukanlah mencari keajaiban, melainkan merawat keikhlasan.

Doa Sang Wali yang Menjadi Sungai

Dalam manaqib, doa Abdul Qadir Jailani sering digambarkan sebagai sungai yang mengalirkan keberkahan. Doa itu tidak hanya menolong muridnya di Baghdad, tetapi juga diyakini sampai ke hati para pecinta beliau di tanah Jawa.

يَا بُنَيَّ، كُنْ لِلَّهِ، يَكُنِ اللَّهُ لَكَ
“Wahai anakku, jadilah engkau untuk Allah, maka Allah akan menjadi untukmu.”

Pesan sederhana ini adalah pelajaran mendalam. Di zaman ketika manusia sibuk mengejar dunia, nasihat ini seperti oase.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Manakiban dan Kehidupan Kita Hari Ini

Di tengah kota modern yang penuh gemerlap, masih ada ruang-ruang kecil di mana kitab manaqib dibaca dengan suara bergetar. Banyak anak muda mungkin merasa ritual ini kuno, tetapi jika diselami, manakiban adalah obat kesepian.

Ia mengingatkan kita bahwa ada orang-orang suci yang hidupnya hanya untuk Allah, dan mereka meninggalkan jejak agar kita tidak tersesat.

قَالَ سَيِّدِي: الطَّرِيقُ إِلَى اللَّهِ قَلِيلٌ سَالِكُوهُ، فَكُنْ مِنَ الْقَلِيلِ
“Sayyidiku berkata: Jalan menuju Allah sedikit yang menempuhnya, maka jadilah engkau termasuk yang sedikit itu.”

Kutipan ini seakan menjawab kegelisahan anak muda hari ini: dalam keramaian digital, siapa yang berani memilih jalan sunyi?

Sebuah Panggilan Pulang

Membaca Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani bukan sekadar nostalgia. Ia adalah panggilan. Panggilan agar kita tidak larut dalam hiruk pikuk dunia, agar kita menemukan kembali arah pulang.

مَنْ طَلَبَ اللَّهَ وَجَدَهُ، وَمَنْ وَجَدَهُ رَآهُ فِي كُلِّ شَيْءٍ
“Barangsiapa mencari Allah, ia akan menemukannya; dan barangsiapa menemukannya, ia akan melihat-Nya dalam segala sesuatu.”

Kalimat ini adalah kunci. Bahwa manaqib bukan hanya bacaan, tetapi jendela untuk melihat wajah cinta Allah.

Penutup: Bertemu di Jalan Sunyi

Di jalan sunyi, hatimu akan bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir. Bukan dalam arti fisik, melainkan dalam cahaya yang beliau tinggalkan. Kitab manaqib adalah pelita agar kita tidak kehilangan arah.

Di Indonesia, tradisi manakiban membuktikan bahwa spiritualitas masih berdenyut dalam kehidupan sehari-hari. Dari ruang tamu sederhana, dari balai desa, dari surau kecil—kisah sang wali terus hidup.

Maka, jika suatu hari kau merasa sepi, bacalah kembali manaqib itu. Sebab di sana, ada tangan seorang wali yang seakan menuntunmu kembali kepada Allah.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement