Khazanah
Beranda » Berita » Pribumisasi Islam: Penyebaran Islam dengan Damai

Pribumisasi Islam: Penyebaran Islam dengan Damai

Pribumisasi Islam: Penyebaran Islam dengan Damai
Ilustrasi Islam disebarkan dengan pendekatan budaya.

SURAU.CO – Pribumisasi Islam bermakna sebagai upaya rekonsiliasi antara Islam dan budaya setempat. Maksudnya  agar wahyu terpahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, dengan memperhatikan nilai-nilai dan budaya masyarakat setempat.

Dalam proses ini, pembauran Islam dan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Al-Quran harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam salat.  Pribumisasi Islam bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan tetapi dengan maksud agar budaya  itu tidak hilang.

Esensi Pribumisasi

Menurut Gus Dur dalam Pribumisasi Islam, inti pribumisasi adalah kebutuhan, bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan. Pribumisasi adalah upaya membumikan Islam dengan menampilkan wajah Islam yang  menguatkan budaya masyarakat setempat, bukan menempatkannya dalam kerangka yang  kontradiktif. Pribumisasi mencoba menghindarkan Islam tampil dalam manifestasi kegamaan yang asing dan ekstrem dalam kerangka Arabisasi, pada praktiknya hendak menempatkan Islam lebih tinggi dan meminggirkan  budaya setempat .

Arabisasi dengan sendirinya menyebabkan umat Islam terasing dari masyarakat dan budaya lokal tempat mereka hidup. Bahkan ada kecenderungan permusuhan budaya, di mana Islam yang  termenifestasikan dalam keberagamaan cara lokal dianggap sebagai Islam yang menyimpang.

Independensi Islam dan Budaya

Pada dasarnya, agama (Islam) dan budaya  mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai potensi wilayah saling tumpang tindih. Manusia tidak bisa beragama tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan kreativitas manusia yang bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi keberagamaan. Tetapi tidak dapat kita simpulkan bahwa agama adalah kebudayaan. Pada keduanya terjadi tumpang tindih dan saling mengisi namun tetap memiliki beberapa perbedaan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Gus Dur menjelaskan, agama bersumber pada wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Dengan demikian, perspektif demikian menempatkan agama dalam fungsinya sebagai wahana pengayoman tradisi bangsa dan pada saat yang sama agama menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pendewasaan dirinya.

Berdasarkan cara pandang itu, para ulama dan wali Allah zaman dulu berhasil menyebarkan Islam ke penjuru wilayah nusantara secara damai, dan dalam waktu bersamaan berhasil membuat proses pribumisasi Islam menjadi bagian dari proses penguatan budaya masyarakat. Dengan demikian, masyarakat bisa  menjadi pribadi yang religius, dan pada saat yang sama budaya masyarakat semakin kokoh dan berdimensi spiritual.

Munculnya wajah Islam yang kaku

Paradigma dakwah seperti ini tentu berbeda dengan cara-cara dakwah beberapa aliran Islam ekstrem akhir-akhir ini. Pada praktiknya mereka  menampilkan wajah Islam yang kaku, Arabisasi, dan menganggap sesat budaya masyarakat.  Akibatnya Islam menjadi kaku dan radikal. Bahkan cara dakwah demikian bukan hanya merusak  budaya masyarakat, tetapi juga memecah belah masyarakat dan umat Islam karena umat Islam  yang tetap mempertahankan budayanya meraka anggap sesat, bahkan kafir.

Akibatnya, cara dakwah kelompok keras itu pada akhirnya cenderung mengkafirkan umat Islam.  Jangankan membuat Islam menyebar lebih baik ke pelosok Nusantara, yang terjadi malahan menjadikan masyarakat menjadi terpecah belah, membahayakan keutuhan negara dan merusak persatuan umat  Islam sendiri.

Ini tentu berbeda dengan cara dakwah para wali dan ulama terdahulu yang  membawa Islam dalam manifestasi yang santun, beradab, dan akhirnya mampu mengislamkan  orang-orang dari agama dan kepercayaan berbeda. Atas jasa para wali dan ulama terdahulu itulah,  Islam bisa menyebar ke seluruh Nusantara, dan pada saat yang sama Islam menjadi sumber nilai  yang menguatkan proses kebudayaan masyarakat. (St.Diyar)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Referensi: Muh.Hanif Dhakiri, NU: Jimat NKRI, Jimat Islam Indonesia, 2013


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement