SURAU.CO. Allah SWT menciptakan setiap manusia dengan fitrah untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu jalan utama untuk mencapai hal itu adalah melalui bekerja. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk mencari rezeki-Nya di muka bumi.
Allah SWT berfirman: “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. Al-Mulk: 15)
Ayat ini menegaskan bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah dan bentuk kepatuhan kepada Allah SWT. Dengan bekerja, manusia dapat mencari nafkah, mengaktualisasikan potensi diri dan berkontribusi untuk kehidupan sosial. Namun, dalam hubungan kerja, salah satu persoalan yang paling sensitif adalah upah.
Bagi pekerja, upah adalah hak mendasar yang menentukan kualitas hidupnya. Sementara bagi pengusaha, upah merupakan sebagai salah satu komponen biaya produksi yang pengelolaannya harus dengan efisien. Di sinilah sering muncul perbedaan persepsi, pekerja ingin kesejahteraan, sementara pengusaha ingin efisiensi. Maka, Islam hadir untuk memberikan panduan agar hubungan ini berjalan adil, harmonis, dan penuh keberkahan.
Konsep Upah dalam Islam
Dalam fikih muamalah, istilah untuk pengupahan adalah ijarah al-‘amal (الإجارة العمل), yakni akad sewa-menyewa jasa tenaga manusia. Pekerja disebut ajīr (اجير), sedangkan pihak yang menggunakan jasa disebut musta’jir (مستأجر). Kompensasi yang diterima pekerja disebut ujrah (upah).
Hadis Rasulullah SAW menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak pekerja. “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan betapa seriusnya Islam menjaga hak pekerja. Melakukan pembayaran upah tepat waktu, tanpa penundaan yang merugikan. Bahkan, Islam menganggap menunda pembayaran upah sebagai bentuk kezaliman.
Selain itu, prinsip keadilan menjadi dasar utama dalam pengupahan. Allah SWT berfirman: “Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar, dan supaya tiap-tiap diri diberi balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.” (Q.S. Al-Jātsiyah: 22)
Ayat ini mengajarkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan balasan yang sepadan dengan jerih payahnya. Dalam konteks kerja, hal ini berarti pekerja harus menerima upah yang sesuai dengan usaha dan kontribusinya.
Panduan Upah dalam Islam
Islam tidak menetapkan standar angka tertentu mengenai upah minimum. Akan tetapi Islam memberikan panduan agar sistem pengupahan berjalan adil dan penuh maslahat. Maka, sepatutnya umat Islam memperhatikan setiap panduan yang ada dalam Al-Quran dan hadist dalam pengupahan.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an, “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. Al-Isra’: 35)
Ayat ini menunjukkan pentingnya keadilan dalam setiap bentuk transaksi, termasuk pengupahan. Upah harus sebanding dengan besarnya kontribusi jasa. Bos atau majikan tidak boleh menekan pekerja, dan pekerja juga tidak boleh menuntut melebihi kemampuan majikan.
Kemudian, memberikan upah dengan layak, sehingga dapat mencukupi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya. Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini tidak hanya menekankan pentingnya ketepatan waktu dalam pembayaran, tetapi juga menunjukkan bahwa Islam menjunjung kesejahteraan pekerja agar mereka dapat hidup dengan layak.
Islam juga mengajarkan besaran pembayaran upah atas dasar kerelaan (an-tarādin). Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’: 29)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap akad, termasuk akad kerja, harus berdasarkan kerelaan kedua belah pihak tanpa paksaan. Selain itu, Islam menegaskan larangan penipuan (adam al-gharar). Akad pengupahan harus jelas dan transparan agar tidak menimbulkan perselisihan.
Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Abu Dawud). Hal ini mempertegas kewajiban menjelaskan jenis pekerjaan, besaran upah, dan waktu pembayaran sejak awal.
Dan tidak kalah penting, pengupahan harus mempertimbangkan kemaslahatan bersama (tabādul al-manāfi’ dan musyarakah). Hubungan kerja dalam Islam bukan sekadar ikatan ekonomi, melainkan juga sarana berbagi manfaat yang mendatangkan kebaikan bagi pekerja, majikan, dan masyarakat luas.
Hak dan Kewajiban Pekerja dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, hak-hak pekerja mendapat perhatian besar. Dengan menjaga hak-hak pekerja, majikan sejatinya tidak hanya mendapatkan tenaga, tetapi juga meraih ridha Allah SWT karena menegakkan amanah sosial yang bernilai ibadah.
Pekerja berhak menerima upah layak, tidak dibebani pekerjaan melampaui kemampuannya, memperoleh perlindungan kesehatan, serta mendapatkan kompensasi bila terjadi kecelakaan kerja. Rasulullah SAW menegaskan bahwa setiap majikan harus memperlakukan pekerjanya dengan baik.
“Saudara-saudara kalian adalah tanggungan kalian. Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan, memberinya pakaian dari apa yang ia pakai, dan janganlah membebani mereka di luar kemampuan. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa pekerja bukan sekadar alat produksi, melainkan saudara seiman yang memiliki kehormatan. Perlakuan manusiawi dan penuh penghormatan adalah bagian dari kewajiban agama.
Namun, keseimbangan tetap harus dijaga. Pekerja juga memiliki kewajiban untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, menjaga amanah, menaati peraturan, serta memelihara integritas dalam pekerjaannya. Allah SWT memuji orang-orang yang menunaikan amanah dengan baik.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (Q.S. An-Nisa’: 58)
Dengan prinsip saling menghormati, menegakkan hak, dan melaksanakan kewajiban, terciptalah hubungan kerja yang harmonis, produktif, serta penuh keberkahan. Inilah bentuk nyata bahwa dalam Islam, bekerja bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga menjadi ibadah yang bernilai di sisi Allah SWT.
Pengupahan dalam Hukum Positif Indonesia
Dalam konteks ketenagakerjaan di Indonesia, persoalan pengupahan tidak hanya menjadi masalah aspek ekonomi, tetapi juga sebagai isu hukum yang secara tegas terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menegaskan bahwa upah merupakan hak pekerja yang wajib diterima dalam bentuk uang atau imbalan lain sesuai dengan perjanjian kerja, kesepakatan bersama, atau aturan yang berlaku. Ketentuan ini menegaskan bahwa upah bukanlah sekadar kebijakan internal perusahaan, melainkan hak normatif, dan negara menjamin untuk melindungi kesejahteraan pekerja.
Dalam hukum positif Indonesia, dikenal beberapa jenis upah dengan karakteristik yang berbeda. Upah nominal adalah jumlah uang yang secara nyata diterima oleh pekerja sesuai perjanjian dengan pengusaha. Namun, nilai nominal saja tidak cukup, karena daya beli juga menjadi tolok ukur penting. Di sinilah konsep upah riil berperan, yaitu sejauh mana upah tersebut mampu memenuhi kebutuhan pokok pekerja dan keluarganya. Selain itu, negara menetapkan upah minimum sebagai standar terendah yang harus dipenuhi oleh pengusaha agar pekerja tetap dapat hidup layak, meski standar ini berbeda sesuai daerah dan kondisi ekonomi masing-masing wilayah. Adapun upah wajar lebih menekankan pada kesepakatan yang dirasa pantas dan adil oleh kedua belah pihak, dengan memperhatikan kemampuan perusahaan sekaligus kebutuhan hidup pekerja.
Sistem pembayaran upah dalam praktiknya juga beragam, menyesuaikan dengan bentuk hubungan kerja yang dijalani. Ada perusahaan yang menerapkan pembayaran bulanan, mingguan, atau harian, sementara dalam sektor tertentu berlaku sistem borongan atau bahkan bagi hasil laba. Apapun bentuknya, yang terpenting adalah kesepakatan tersebut dituangkan secara jelas dalam perjanjian kerja, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum maupun perselisihan di kemudian hari. Dengan demikian, hukum positif Indonesia berusaha menghadirkan kepastian dan keadilan, baik bagi pekerja yang membutuhkan perlindungan, maupun bagi pengusaha agar dapat menjalankan kewajibannya secara proporsional.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Dalam hukum positif, pemerintah berperan menetapkan upah minimum sebagai standar perlindungan pekerja. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang menekankan keadilan dan kelayakan. Pemerintah hadir untuk mencegah pengusaha memberikan upah di bawah standar hidup layak, sekaligus menjaga stabilitas hubungan industrial.
Selain pemerintah, masyarakat juga memiliki peran. Kesadaran sosial harus tumbuh bahwa pekerja adalah mitra, bukan sekadar alat produksi. Dengan sikap saling menghargai, hubungan kerja akan terjalin harmonis dan berkelanjutan.
Pengupahan bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga persoalan moral dan keadilan. Islam menegaskan bahwa upah adalah hak yang harus dipenuhi dengan adil, tepat waktu, dan sesuai kelayakan. Hukum positif Indonesia pun menegaskan hal yang sama melalui regulasi ketenagakerjaan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
