Khazanah
Beranda » Berita » Ulama dan Umat: Hubungan Ijtihad dan Taqlid di Tengah Zaman Modern

Ulama dan Umat: Hubungan Ijtihad dan Taqlid di Tengah Zaman Modern

ilustrasi ulama dan pemuda berdialog tentang ijtihad dan taqlid.
Gambar ini melukiskan perjumpaan antara kebijaksanaan ulama dan semangat muda umat dalam mencari kebenaran.

Surau.co. Di tengah derasnya arus modernitas, manusia sering terombang-ambing antara mempertahankan warisan lama atau mengejar cahaya baru. Di Indonesia, fenomena ini tampak jelas: sebagian umat menggenggam erat fatwa ulama, sementara sebagian lain mencari ruang ijtihad untuk menjawab masalah kontemporer. Pertanyaan pun muncul: bagaimana hubungan ulama dan umat dalam bingkai ijtihad dan taqlid?

Al-Syāṭibī, melalui kitab al-Muwāfaqāt, menegaskan bahwa agama bukan sekadar warisan yang kaku, melainkan jalan hidup yang menuntun manusia dengan keseimbangan. Ia menulis dengan hati seorang guru, bukan hanya sebagai faqih, tetapi juga sebagai penyair yang mengajarkan cinta pada kebenaran.

Jejak Kehidupan Umat dan Otoritas Ulama

Di kampung-kampung Indonesia, kita melihat masyarakat yang masih sangat menghormati kiai, ustaz, atau ulama. Kehidupan sosial terasa lebih tenang ketika nasihat ulama menjadi penuntun arah. Namun, di kota besar, banyak anak muda mulai mempertanyakan relevansi fatwa lama dengan problem zaman digital.

Al-Syāṭibī memberi gambaran:

“إِنَّ الْمُقَلِّدَ يَتَّبِعُ فِي مَذْهَبِهِ مَا غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى رِضَا اللهِ.”
“Seorang yang bertaklid mengikuti mazhabnya sesuai dengan keyakinan bahwa itu lebih dekat kepada ridha Allah.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Taqlid bukan sekadar menutup pintu akal, tetapi wujud kerendahan hati. Bagi sebagian umat, taqlid adalah jalan aman untuk tetap berada dalam koridor agama.

Ketika Ijtihad Menjadi Nafas Perubahan

Namun, sejarah Islam juga membuktikan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Ulama yang memiliki ilmu mendalam justru dituntut untuk berijtihad agar hukum Islam dapat menjawab dinamika zaman.

Al-Syāṭibī menulis dalam al-Muwāfaqāt:

“الْمُجْتَهِدُ مُطَالَبٌ بِأَنْ يُرَاعِيَ مَقَاصِدَ الشَّرِيعَةِ فِي كُلِّ اجْتِهَادٍ.”
“Seorang mujtahid dituntut untuk selalu memperhatikan tujuan syariat dalam setiap ijtihadnya.”

Di era modern, masalah-masalah baru muncul: ekonomi digital, bioetika, hingga relasi antaragama. Tanpa ijtihad, umat bisa kehilangan arah. Namun tanpa taqlid, umat bisa tercerai-berai karena setiap orang merasa bebas menafsirkan agama sesuka hati.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Keseimbangan Antara Mengikuti dan Mencari

Hubungan ulama dan umat bukanlah dominasi sepihak. Ia adalah dialog spiritual. Umat memerlukan ulama untuk penuntun, sementara ulama membutuhkan umat sebagai ladang amal dan penghidupan pesan dakwah.

Al-Syāṭibī mengingatkan:

“لَا يُمْكِنُ لِلْعَامِّيِّ أَنْ يَسْتَقِلَّ بِالنَّظَرِ فِي الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ.”
“Seorang awam tidak mungkin berdiri sendiri dalam menelaah hukum-hukum syariat.”

Namun beliau juga menegaskan pentingnya kebijaksanaan:

“إِنَّمَا الشَّرِيعَةُ جَاءَتْ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.”
“Syariat datang demi kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Maka, ijtihad dan taqlid bukan musuh, tetapi saudara yang berjalan beriringan. Taqlid menjaga kesinambungan, sementara ijtihad membuka jalan bagi kemajuan.

Menemukan Hikmah di Tengah Modernitas

Fenomena sosial di Indonesia memperlihatkan dinamika unik: di satu sisi, pengajian kampung masih dipenuhi jamaah yang taklid pada kiai; di sisi lain, ruang digital dipenuhi anak muda yang berdebat soal tafsir dan hukum. Perbedaan ini tidak perlu dipertentangkan. Justru, di sinilah peluang untuk menghadirkan wajah Islam yang seimbang.

Ijtihad para ulama harus disampaikan dengan bahasa yang membumi, sementara taqlid umat harus dipahami sebagai bagian dari kerendahan hati. Seperti bait Rumi yang menari: “Jangan kau sangka orang yang berjalan lambat kehilangan arah, bisa jadi ia lebih dekat pada tujuan daripada yang berlari tanpa peta.”

Penutup: Menyulam Kesetiaan dan Kebijaksanaan

Dari al-Muwāfaqāt, kita belajar bahwa hubungan ulama dan umat ibarat sungai dan tepiannya. Umat membutuhkan ulama agar alirannya tidak liar, sementara ulama memerlukan umat agar sungai itu tetap hidup. Ijtihad memberi arah baru, sementara taqlid menjaga warisan lama.

Di zaman modern ini, keduanya harus dipeluk bersama. Agama akan tetap hidup jika ulama bijak dalam ijtihad, dan umat rendah hati dalam taqlid. Itulah keseimbangan yang diajarkan al-Syāṭibī—sebuah hikmah yang tetap segar untuk Indonesia hari ini.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement