Surau.co. Ketika manusia berdiri di simpang jalan antara keinginan dunia dan panggilan langit, syariat hadir bukan sebagai belenggu, melainkan sebagai cahaya penunjuk arah. Dalam al-Muwāfaqāt, al-Syāṭibī menjelaskan bahwa agama bukan sekadar aturan kaku, melainkan tali yang mengikat hati dengan makna hidup yang lebih luas. Oleh karena itu, belajar agama sejatinya berarti belajar untuk hidup dengan penuh kesadaran.
Syariat sebagai Jalan Keselamatan dan Kehidupan
Sejak awal, frasa kunci agama untuk kehidupan telah menjadi bagian penting dalam pesan al-Syāṭibī. Ia menolak pandangan yang membatasi agama pada ritual atau dogma semata. Menurutnya, syariat diturunkan untuk melindungi lima hal mendasar: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Inilah yang disebut maqāṣid al-syarī‘ah, tujuan syariat yang berpihak pada manusia.
Al-Syāṭibī menulis dalam al-Muwāfaqāt:
«إِنَّ الشَّرِيعَةَ وُضِعَتْ لِإِخْرَاجِ الْمُكَلَّفِ عَنْ دَاعِيَةِ هَوَاهُ، حَتَّى يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ اخْتِيَارًا كَمَا هُوَ عَبْدٌ لَهُ اضْطِرَارًا.»
“Sesungguhnya syariat ditetapkan untuk mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsunya, agar ia menjadi hamba Allah secara sadar sebagaimana ia adalah hamba Allah secara mutlak.”
Karena itu, di jalanan kota-kota Indonesia hari ini, ketika banyak anak muda mencari arah hidup dan sebagian terseret budaya instan, agama hadir bukan sebagai palu penghakiman, tetapi sebagai sahabat yang menuntun dengan lembut.
Antara Keterikatan dan Kebebasan
Pertanyaan sering muncul: apakah agama membatasi kebebasan manusia? Dalam perspektif al-Syāṭibī, agama justru memberi ruang luas bagi kebebasan, selama kebebasan itu tidak merusak dirinya sendiri atau orang lain. Sebab kebebasan tanpa bingkai syariat ibarat kapal tanpa kompas, mudah terombang-ambing di samudra.
Ia menulis:
«إِنَّ الْمَصَالِحَ مَجْلُوبَةٌ إِلَى الْعِبَادِ بِحَسَبِ قُدْرَتِهِمْ عَلَى الِانْتِفَاعِ بِهَا.»
“Segala kemaslahatan itu dihadirkan untuk manusia sesuai dengan kemampuan mereka mengambil manfaat darinya.”
Dengan demikian, di pasar tradisional hingga mall megah, aturan agama memberi rambu keadilan. Larangan riba, misalnya, bukan sekadar pembatasan, tetapi perlindungan agar manusia tidak terjebak dalam jerat penindasan ekonomi. Maka, agama untuk kehidupan bukanlah wacana abstrak, melainkan nyata dalam keseharian.
Cinta dan Rahmat dalam Bingkai Syariat
Agama tidak datang dengan wajah muram, melainkan dengan senyum rahmat. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً»
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah sebagai rahmat.” (HR. Ahmad)
Oleh sebab itu, syariat yang dijelaskan al-Syāṭibī menegaskan bahwa hukum Islam selalu berorientasi pada kemaslahatan. Jika kesulitan muncul, maka jalan kemudahan pun dibuka.
Dalam al-Muwāfaqāt, beliau menulis:
«إِنَّ التَّكْلِيفَ بِمَا فِيهِ مَشَقَّةٌ يُقْصَدُ بِهِ الرُّجُوعُ إِلَى التَّيْسِيرِ.»
“Taklif (beban syariat) yang mengandung kesulitan, pada akhirnya bertujuan membawa manusia kembali kepada kemudahan.”
Contohnya tampak dalam pengalaman masyarakat Indonesia saat pandemi. Ulama mengeluarkan fatwa bahwa shalat berjamaah bisa dilakukan di rumah demi menjaga keselamatan jiwa. Di sinilah wajah agama yang penuh cinta, bukan sekadar aturan beku.
Syariat sebagai Jalan Menuju Kesadaran Diri
Hidup tidak berhenti pada urusan makan dan minum. Dalam kedalaman jiwa, manusia selalu haus akan makna. Al-Syāṭibī memahami bahwa agama menjawab dahaga itu.
Beliau menulis:
«إِنَّ مَقَاصِدَ الشَّرِيعَةِ إِنَّمَا هِيَ خُرُوجُ الْمُكَلَّفِ عَنْ نَفْسِهِ، وَالْدُّخُولُ تَحْتَ نِظَامِ رَبِّهِ.»
“Sesungguhnya tujuan syariat adalah agar manusia keluar dari dominasi dirinya sendiri, lalu masuk ke dalam sistem Tuhannya.”
Oleh karena itu, di era media sosial ketika orang berlomba menampilkan citra diri, ajaran ini menjadi relevan. Agama mengingatkan bahwa ada nilai yang lebih abadi daripada sekadar pujian dunia maya: yaitu kebermaknaan hidup di hadapan Allah.
Penutup: Agama yang Membumi
Merenungi al-Muwāfaqāt, kita belajar bahwa agama tidak diturunkan ke langit kosong, melainkan untuk membumi dalam kehidupan manusia. Ia hadir sebagai panduan agar manusia tetap menjadi manusia, dengan kebebasan, cinta, dan pencarian makna yang sejati.
Akhirnya, di tengah hiruk pikuk Indonesia hari ini, syariat bisa dipahami bukan sebagai beban, melainkan sebagai napas panjang yang menjaga kita tetap berdiri. Agama untuk kehidupan—itulah pesan yang terus hidup dari al-Syāṭibī.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
