Surau.co. Di sepanjang sejarah, syariat Islam selalu hadir sebagai pedoman hidup. Namun pertanyaan kerap muncul: apakah syariat mengikat manusia hingga terasa berat, atau justru membebaskan jiwa dari belenggu? Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt menjawab dengan penuh kelembutan: syariat bukan penjara, melainkan taman tempat jiwa tumbuh dalam keindahan.
Ketika Hukum Menyapa Realitas Sosial
Di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana syariat hadir dalam keseharian. Dari tradisi gotong royong di kampung hingga doa bersama saat bencana, nilai-nilai Islam memberi arah. Namun, sebagian orang merasa hukum agama mengekang kebebasan individu. Pandangan ini dibantah oleh Al-Syāṭibī yang menulis:
«إِنَّ الشَّرِيعَةَ وُضِعَتْ لِإِخْرَاجِ النَّاسِ مِنْ دَاعِي أَهْوَائِهِمْ، حَتَّى يَكُونُوا عِبَادًا لِلَّهِ»
“Syariat ditetapkan untuk membebaskan manusia dari dorongan hawa nafsunya, agar mereka benar-benar menjadi hamba Allah.”
Maka, yang membelenggu bukan syariat, melainkan nafsu yang membuat manusia buta. Syariat hadir untuk menata, seperti pagar yang melindungi bunga agar tetap tumbuh indah.
Hukum yang Lahir dari Rahmat
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
﴿وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ﴾
“Dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama ini suatu kesempitan.” (QS. Al-Ḥajj: 78)
Ayat ini mengingatkan bahwa syariat bukanlah beban. Dalam al-Muwāfaqāt, Al-Syāṭibī menambahkan:
«إِنَّ التَّكْلِيفَ لَا يُقْصَدُ بِهِ إِيقَاعُ الْمَشَقَّةِ، بَلْ إِجْلَابُ الْمَصَالِحِ وَدَفْعُ الْمَفَاسِدِ»
“Taklif (pembebanan syariat) tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kesulitan, tetapi untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.”
Dalam konteks sosial, kita bisa melihatnya pada aturan zakat. Meski tampak sebagai kewajiban yang mengikat, zakat justru membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan dan kesenjangan.
Menyatukan Hati di Tengah Perbedaan
Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan keragaman praktik keagamaan: dari tahlilan di Jawa hingga tradisi Tabuik di Sumatra Barat. Ada yang menganggapnya sebagai kekayaan, ada pula yang memandangnya sebagai belenggu. Al-Syāṭibī memberikan jalan terang:
«الِاعْتِبَارُ فِي الشَّرْعِ بِالْمَقَاصِدِ، لَا بِالظَّوَاهِرِ وَالصُّوَرِ»
“Dalam syariat, yang menjadi ukuran adalah tujuan, bukan sekadar bentuk lahir dan rupa.”
Artinya, jika sebuah amalan membawa kedamaian, ukhuwah, dan cinta kasih, maka ia lebih dekat pada ruh syariat ketimbang sekadar perdebatan tekstual.
Membebaskan Jiwa, Mengikat Ego
Syariat mengikat bukan pada jiwa, melainkan pada ego yang sering melampaui batas. Ketika manusia terikat pada kesombongan, syariat menurunkannya. Saat manusia tenggelam dalam kerakusan, syariat membatasinya. Dengan demikian, hukum bukan jeruji besi, melainkan kunci pembebasan.
Al-Syāṭibī menegaskan:
«إِنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الشَّرِيعَةِ إِقَامَةُ الْعَدْلِ بَيْنَ الْخَلْقِ وَرَفْعُ الظُّلْمِ»
“Tujuan syariat adalah menegakkan keadilan di antara manusia dan menghapuskan kezaliman.”
Di sinilah makna kebebasan sejati: bukan bebas melakukan apa saja, tetapi bebas dari penindasan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Penutup: Jalan Syariat adalah Jalan Cinta
Jika dibaca dengan mata dingin, syariat tampak seperti aturan yang kaku. Namun bila dipandang dengan hati yang peka, ia adalah tarian kasih yang membimbing manusia menuju cahaya. Jalaluddin Rumi berkata: “Hukum tanpa cinta hanyalah rantai. Tapi hukum yang dibalut cinta adalah sayap yang membuatmu terbang.”
Syariat, sebagaimana dijelaskan al-Syāṭibī, bukanlah belenggu. Ia adalah undangan untuk tumbuh, berbuat adil, dan hidup selaras dengan fitrah. Maka, ia mengikat ego kita, tetapi sekaligus membebaskan jiwa untuk merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
