Surau.co Perdebatan tentang sunnah dan bid‘ah bukan hanya urusan ulama masa lalu, tetapi denyut yang terus hidup di hati umat Islam hari ini. Dari mimbar masjid kampung hingga linimasa media sosial, kata “bid‘ah” sering dilemparkan, kadang untuk menegakkan kebenaran, kadang untuk menjatuhkan. Di tengah silang sengkarut ini, al-Syāṭibī lewat kitab monumentalnya al-Muwāfaqāt menawarkan pandangan jernih: agama bukan sekadar bentuk luar, melainkan cahaya maslahat yang menghidupkan jiwa.
Sunnah yang Menyiram, Bid‘ah yang Membelenggu
Al-Syāṭibī menulis dengan penuh kebijaksanaan:
«إِنَّ كُلَّ مَا أُحْدِثَ مِمَّا يُنَاقِضُ الْمَقَاصِدَ الشَّرْعِيَّةَ فَهُوَ بِدْعَةٌ»
“Segala sesuatu yang diada-adakan dan bertentangan dengan tujuan syariat, maka itulah bid‘ah.”
Ia tidak sekadar melabeli, tetapi mengajak melihat ruh di balik amalan. Sunnah bagaikan air yang menyirami ladang hati. Bid‘ah yang sesat justru membelenggu, memutus hubungan manusia dengan maksud asli agama: kebahagiaan dan keselamatan.
Dalam kehidupan sosial Indonesia, kita sering melihat praktik keagamaan yang berbeda-beda. Ada yang membaca yasinan bersama, ada pula yang menolaknya dengan alasan bid‘ah. Al-Syāṭibī mengingatkan, ukuran bukan pada baru atau lamanya sebuah amalan, melainkan apakah ia sejalan dengan maqāṣid al-sharī‘ah.
Hukum yang Hidup dalam Kebersamaan
Allah berfirman:
﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا﴾
“Berpeganglah kalian semua pada tali Allah, dan janganlah bercerai-berai.” (QS. Āli ʿImrān: 103)
Pesan ini terasa relevan ketika perdebatan sunnah dan bid‘ah sering berakhir pada permusuhan. Padahal, agama diturunkan bukan untuk memecah, melainkan untuk menyatukan. Al-Syāṭibī menegaskan dalam al-Muwāfaqāt:
«إِنَّ الْبِدْعَةَ تُفْضِي إِلَى التَّفَرُّقِ، وَالسُّنَّةُ تُؤَدِّي إِلَى الِاجْتِمَاعِ»
“Bid‘ah mengantarkan pada perpecahan, sedangkan sunnah membawa pada persatuan.”
Fenomena sosial di Indonesia membuktikan hal itu. Perdebatan soal tahlilan, maulid, atau doa bersama kerap menimbulkan jarak antarsesama Muslim. Namun, jika ruh maqāṣid dipahami, kita akan lebih bijak: menimbang apakah sebuah praktik membawa maslahat atau justru melahirkan pertikaian.
Menyelami Hikmah di Balik Tradisi
Tradisi keagamaan di Nusantara tumbuh dalam harmoni antara teks dan budaya. Ketika sebagian orang melihatnya sebagai bid‘ah, sebagian lain merasakan hikmah sosialnya. Al-Syāṭibī memberi jalan tengah:
«إِذَا كَانَ الْفِعْلُ يُؤَدِّي إِلَى مَقْصُودٍ شَرْعِيٍّ فَهُوَ مِنَ السُّنَّةِ، وَإِنْ لَمْ يُنْقَلْ نَصًّا»
“Apabila suatu perbuatan mengantarkan pada tujuan syar‘i, maka ia termasuk sunnah, meskipun tidak ada nash yang secara langsung menyebutkannya.”
Dengan pandangan ini, kita diajak melihat makna terdalam dari amal. Apakah ia menjaga iman, melestarikan ukhuwah, dan menumbuhkan kasih sayang? Jika iya, maka ia dekat dengan sunnah meski bentuknya mungkin berbeda dari masa awal Islam.
Bid‘ah Bukan untuk Menghakimi, Sunnah Bukan untuk Menyombongkan
Dalam dunia yang terhubung cepat lewat media sosial, label “bid‘ah” sering dilontarkan tanpa renungan, lebih sebagai senjata debat daripada seruan kasih. Padahal, al-Syāṭibī mengingatkan bahwa hakikat agama adalah rahmat:
«إِنَّ الشَّرِيعَةَ رَحْمَةٌ كُلُّهَا، وَعَدْلٌ كُلُّهَا، وَمَصَالِحُ كُلُّهَا»
“Syariat itu seluruhnya rahmat, seluruhnya keadilan, seluruhnya maslahat.”
Maka, membela sunnah bukan berarti menutup pintu hikmah, dan menolak bid‘ah bukan berarti membakar silaturahmi. Kita perlu kembali pada maqāṣid: apakah sebuah amalan menguatkan rahmat, keadilan, dan maslahat, atau justru merusaknya.
Penutup: Jalan Cinta dalam Hukum
Perdebatan sunnah dan bid‘ah sering membuat hati keras. Namun, bila kita membaca al-Syāṭibī dengan hati ala Jalaluddin Rumi, kita menemukan kelembutan: hukum bukan cambuk, melainkan pelukan. Sunnah adalah cahaya jalan, bid‘ah adalah kabut yang menghalangi, dan manusia dipanggil untuk berjalan menuju Allah dengan hati yang damai.
Seperti kata Rumi: “Kebenaran bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk menghidupkan jiwa.”
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
