Surau.co. Ada satu rahasia dalam hukum Islam yang membuatnya selalu hidup, bahkan di tengah perubahan zaman: maqāṣid al-sharī‘ah. Sejak al-Syāṭibī menyingkapnya dalam al-Muwāfaqāt, kita diajak memahami bahwa teks bukan sekadar huruf kaku, melainkan napas yang memberi arah pada realitas manusia. Di Indonesia, tempat hukum, budaya, dan agama saling bersinggungan, gagasan ini menemukan relevansi paling nyata.
Bayangkan seorang pedagang kecil di pasar tradisional yang harus memilih: menaikkan harga karena inflasi atau menjaga keadilan bagi pembeli. Pada titik itulah maqāṣid hadir. Ia tidak hanya berupa perintah dan larangan, melainkan cahaya penuntun agar manusia berjalan di antara teks dan kenyataan dengan hati yang jernih.
Jalan Hukum yang Menyentuh Kemanusiaan
Al-Syāṭibī menulis dalam al-Muwāfaqāt:
«إِنَّ الشَّرِيعَةَ وُضِعَتْ لِإِخْرَاجِ الْمُكَلَّفِ عَنْ دَاعِيَةِ هَوَاهُ حَتَّى يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ اخْتِيَارًا، كَمَا هُوَ عَبْدٌ لَهُ اضْطِرَارًا»
“Syariat ditetapkan untuk mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsunya, agar ia menjadi hamba Allah dengan pilihan, sebagaimana ia adalah hamba Allah secara niscaya.”
Di jalanan kota kita, manusia sering tertatih di antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Karena itu, maqāṣid hadir sebagai pengingat bahwa hukum Islam tidak dimaksudkan untuk memberatkan. Sebaliknya, hukum berfungsi untuk mengarahkan agar manusia tetap menjadi manusia—makhluk yang memilih kebaikan meski dunia kerap menawarinya keburukan.
Nilai Keadilan dalam Setiap Aturan
Allah berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ﴾
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan (kebaikan).” (QS. al-Naḥl: 90)
Dengan demikian, keadilan bukan sekadar konsep abstrak. Dalam realitas sosial Indonesia, dari konflik agraria hingga persaingan bisnis digital, maqāṣid berperan sebagai jembatan agar teks hukum tidak kehilangan ruhnya.
Al-Syāṭibī menegaskan:
«وَإِنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الشَّرْعِ إِنَّمَا هُوَ الْمَصَالِحُ الْعَامَّةُ»
“Sesungguhnya tujuan dari syariat adalah kemaslahatan umum.”
Oleh karena itu, setiap hukum membawa pesan kemanusiaan. Bila teks dipahami kaku tanpa melihat konteks, wajah kasih sayangnya bisa hilang.
Hikmah di Balik Perintah dan Larangan
Dalam hidup sehari-hari, kita sering bertanya: mengapa sesuatu diperintahkan dan yang lain dilarang? Jawabannya tentu tidak hanya karena “teks berkata demikian”, melainkan karena selalu ada hikmah di baliknya.
Al-Syāṭibī menulis:
«فَكُلُّ مَا أُمِرَ بِهِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ، وَكُلُّ مَا نُهِيَ عَنْهُ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ»
“Segala sesuatu yang diperintahkan adalah maslahat, dan segala sesuatu yang dilarang adalah mafsadat.”
Dengan demikian, hukum hadir sebagai cermin kasih Allah. Larangan bukan belenggu, melainkan pagar agar manusia tidak terjerumus. Sementara itu, perintah bukan beban, tetapi undangan menuju kebaikan.
Realitas Sosial: Dari Pasar hingga Media Sosial
Di Indonesia, realitas berubah begitu cepat. Pasar tradisional bertransformasi menjadi e-commerce, dan percakapan warung kopi bergeser ke media sosial. Lalu, apakah teks-teks hukum mampu mengikuti percepatan ini?
Jawabannya: iya. Maqāṣid al-sharī‘ah menjelaskan bahwa hukum Islam tidak berhenti pada teks. Sebaliknya, ia menyalakan api hikmah yang mampu menembus zaman.
Al-Syāṭibī menekankan:
«إِنَّ الْمُكَلَّفَ قَدْ جُعِلَ نَاظِرًا فِي الْمَصَالِحِ عَلَى الإِطْلَاقِ»
“Sesungguhnya mukallaf (manusia) dijadikan pengamat terhadap kemaslahatan secara umum.”
Artinya, kita menerima amanah untuk membaca zaman, menimbang maslahat, dan menempatkan hukum pada ruang kehidupan nyata.
Menyulam Teks dan Realitas
Maqāṣid tidak berarti meninggalkan teks, dan realitas tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak hukum. Keduanya ibarat dua sayap yang membuat burung mampu terbang. Karena itu, dalam dunia yang semakin kompleks, umat Islam perlu menjaga keseimbangan.
Di tengah kehidupan urban, dengan masalah kemiskinan, korupsi, atau krisis lingkungan, maqāṣid hadir sebagai jawaban. Ia menawarkan hukum Islam yang tidak kaku, tetapi tetap teguh; hukum yang tidak melepaskan diri dari teks, namun tetap terbuka terhadap realitas.
Penutup: Hikmah yang Menyala di Tengah Kehidupan
Hidup ibarat tarian antara teks dan realitas. Maqāṣid al-sharī‘ah, sebagaimana dijelaskan al-Syāṭibī, menjadi musik yang mengiringinya. Jika kita menari hanya mengikuti teks, gerakan akan kaku. Jika hanya mengikuti realitas, arah akan hilang. Namun bila keduanya berpadu, harmoni yang indah pun lahir.
Sebagaimana kata Rumi: “Kebenaran bukan di bibir huruf, melainkan di hati yang menafsir.”
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
