Surau.co. Perintah larangan dan hikmah dalam hukum Islam sering kali dipandang sebagai beban. Namun, al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt mengajarkan bahwa setiap perintah dan larangan adalah jendela menuju maslahat. Ia bukan sekadar batasan, melainkan cahaya yang menuntun manusia menemukan kebebasan sejati. Jalaluddin Rumi pernah menulis, “Jangan lihat tali itu mengikatmu, lihatlah bagaimana ia menyelamatkanmu dari jurang.” Begitu pula hukum Islam: bukan penghalang, melainkan penjaga jiwa.
Di Indonesia, banyak fenomena sosial yang mencerminkan pencarian hikmah di balik perintah dan larangan. Dari anak muda yang memilih menghindari riba meski tawaran kredit begitu menggoda, hingga komunitas desa yang menolak praktik merusak lingkungan walau tampak menguntungkan secara instan. Mereka menemukan ketenangan, karena di balik larangan ada rahmat, dan di balik perintah ada kebebasan dari perbudakan hawa nafsu.
Perintah yang Menghidupkan Jiwa
Al-Syāṭibī menulis:
“إِنَّ التَّكْلِيفَ بِالْأَوَامِرِ مَقْصُودُهُ إِخْرَاجُ الْعَبْدِ عَنْ دَاعِيَةِ الْهَوَى إِلَى اتِّبَاعِ الْهُدَى”
“Sesungguhnya perintah dalam syariat bertujuan mengeluarkan hamba dari dorongan hawa nafsu menuju petunjuk Allah.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).
Perintah shalat, misalnya, tampak sederhana. Namun di masjid-masjid desa, kita melihat bagaimana shalat jamaah menjadi ruang penyatu: petani, pedagang, hingga pegawai duduk sejajar, tanpa derajat dunia. Perintah ini bukan hanya ibadah, melainkan obat kesombongan sosial.
Al-Qur’an pun menegaskan:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Dirikanlah shalat, karena shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. al-‘Ankabūt [29]: 45).
Shalat adalah perintah yang membebaskan manusia dari gelapnya ego menuju cahaya persaudaraan.
Larangan sebagai Bentuk Perlindungan
Al-Syāṭibī menegaskan:
“النَّهْيُ إِنَّمَا وُضِعَ لِتَحْصِيلِ الْمَصْلَحَةِ بِاجْتِنَابِ الْمَفَاسِدِ”
“Larangan disyariatkan untuk meraih maslahat dengan menjauhi kerusakan.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).
Larangan riba misalnya, bukan sekadar aturan ekonomi. Ia adalah pagar agar manusia tidak saling memakan satu sama lain. Di banyak daerah di Indonesia, maraknya pinjaman online yang menjerat masyarakat adalah bukti nyata betapa larangan riba adalah kasih sayang, bukan sekadar teks hukum.
Seperti kata Rumi: “Larangan adalah angin yang menahanmu dari terbakar dalam api yang tak terlihat.” Maka, larangan adalah penjaga, bukan penghalang.
Hikmah sebagai Inti dari Setiap Aturan
Al-Syāṭibī berkata:
“الشَّرِيعَةُ كُلُّهَا مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْحِكْمَةِ وَالْمَصَالِحِ”
“Seluruh syariat dibangun atas dasar hikmah dan kemaslahatan.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).
Hikmah membuat hukum Islam elastis, mampu berdialog dengan zaman. Misalnya, larangan berbuat zalim yang di masa lalu berlaku pada perdagangan unta, kini relevan dalam perdagangan digital. Hukum tidak kehilangan jiwanya, karena yang dijaga adalah maslahat.
Di ruang-ruang kelas, guru yang melarang muridnya mencontek sesungguhnya sedang menanamkan kejujuran, bukan sekadar disiplin. Hikmah larangan itu melahirkan generasi yang mampu dipercaya. Inilah yang dimaksud al-Syāṭibī: perintah dan larangan adalah jalan menuju hikmah.
Keseimbangan antara Batasan dan Kebebasan
Al-Syāṭibī menambahkan:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ لِتُخْرِجَ الْإِنْسَانَ مِنَ الْجَوْرِ إِلَى الْعَدْلِ، وَمِنَ الضِّيقِ إِلَى السَّعَةِ”
“Syariat datang untuk mengeluarkan manusia dari kezaliman menuju keadilan, dari kesempitan menuju kelapangan.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).
Perintah dan larangan tidak pernah bertujuan menyiksa. Ia justru menjadi jalan menuju keluasan. Di Indonesia, kita melihatnya ketika masyarakat patuh pada aturan menjaga alam: melarang pembakaran hutan, memerintahkan penghijauan. Hasilnya adalah udara yang lebih segar, tanah yang lebih subur. Dari larangan lahir kehidupan, dari perintah lahir keseimbangan.
Al-Qur’an menegaskan:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama.” (QS. al-Ḥajj [22]: 78).
Syariat bukan jeruji, melainkan jalan lapang yang membawa manusia menuju ketenteraman.
Penutup: Cahaya di Balik Aturan
Perintah larangan dan hikmah dalam hukum Islam bukan sekadar aturan kaku. Ia adalah cahaya yang menyinari jalan manusia, agar tidak tersesat dalam gelap hawa nafsu. Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt mengajarkan bahwa hikmah selalu tersembunyi di balik setiap hukum, dan tugas kita adalah menemukannya.
Jika Rumi berkata, “Bahkan dinding yang menghalangimu adalah guru yang mengajarkan jalan lain,” maka syariat juga demikian: setiap perintah dan larangan adalah guru yang menuntun kita menuju kehidupan yang penuh makna.
* Sugianto al-jawi
Budayawan konteporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
