Khazanah
Beranda » Berita » Maslahat sebagai Jiwa dari Setiap Hukum Islam

Maslahat sebagai Jiwa dari Setiap Hukum Islam

Ilustrasi maslahat sebagai jiwa hukum Islam
Gambar seorang pejalan kaki di jalan sunyi malam membawa lentera, menggambarkan maslahat sebagai jiwa hukum yang menerangi hidup.

Surau.co. Maslahat adalah napas yang menghidupkan setiap hukum Islam. Tanpa maslahat, hukum menjadi kaku, dingin, dan kehilangan denyut kemanusiaannya. Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt menegaskan bahwa syariat tidak turun untuk membebani, tetapi untuk menghadirkan kemaslahatan yang menyelamatkan manusia dari kerusakan. Dalam bahasa Rumi, hukum hanyalah bejana, sementara maslahat adalah airnya. Bejana bisa bermacam bentuk, tetapi air tetap memberi kehidupan.

Di Indonesia, banyak orang bertanya mengapa hukum Islam begitu diperhatikan dalam diskursus publik. Dari perdebatan ekonomi syariah hingga isu lingkungan, selalu muncul kebutuhan akan hukum yang memihak manusia. Namun, inti dari semua itu adalah pertanyaan sederhana: apakah hukum Islam mampu menjawab kebutuhan hidup? Al-Syāṭibī menjawab dengan mantap: selama syariat ditegakkan atas dasar maslahat, ia akan selalu relevan dengan fitrah manusia.

Maslahat yang Menyentuh Kehidupan Sehari-hari

Al-Syāṭibī berkata:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ إِنَّمَا وُضِعَتْ لِجَلْبِ الْمَصَالِحِ وَدَرْءِ الْمَفَاسِدِ”
“Syariat sesungguhnya diturunkan untuk meraih kemaslahatan dan menolak kerusakan.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).

Di pasar-pasar tradisional Indonesia, kita melihat pedagang kecil yang berusaha jujur, menimbang dengan hati-hati agar tidak merugikan pembeli. Kejujuran ini adalah wujud maslahat: melindungi hak orang lain sekaligus menjaga keberkahan diri sendiri. Syariat hadir bukan sekadar dalam teks kitab, tetapi dalam laku keseharian seperti ini.

Fenomena sosial ini menunjukkan bahwa manusia, tanpa disadari, selalu merindukan maslahat. Mereka ingin hidup dalam keadilan, ketenangan, dan keteraturan. Syariat hanyalah pintu yang membuka jalan menuju kerinduan itu.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Hukum Islam sebagai Penjaga Keseimbangan

Al-Syāṭibī juga menegaskan:
“الأحكامُ شُرِعَتْ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ”
“Hukum-hukum disyariatkan demi kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun akhirat.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).

Hukum Islam tidak hanya berpijak pada dunia material, tetapi juga pada kebahagiaan batin. Ketika seseorang berzakat, ia bukan hanya membersihkan hartanya, tetapi juga hatinya. Saat seseorang menahan diri dari riba, ia menjaga keadilan ekonomi agar tidak ada yang tertindas. Dengan demikian, maslahat menjadi jembatan antara kehidupan dunia yang fana dan kehidupan akhirat yang abadi.

Di Indonesia, praktik gotong royong di desa-desa mencerminkan nilai ini. Walaupun tidak selalu disebut hukum syariat, semangat membantu sesama adalah bukti bahwa maslahat melekat dalam jiwa manusia, karena syariat sejalan dengan fitrah.

Maslahat sebagai Inti dari Maqāṣid al-Syarī‘ah

Al-Syāṭibī merumuskan maqāṣid al-syarī‘ah sebagai penjagaan lima kebutuhan pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ia menulis:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِحِفْظِ الضَّرُورِيَّاتِ الْخَمْسَ: الدِّينِ وَالنَّفْسِ وَالْعَقْلِ وَالنَّسْلِ وَالْمَالِ”
“Syariat datang untuk menjaga lima kebutuhan pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).

Jika kita lihat realitas sosial, setiap masyarakat pasti menuntut perlindungan atas lima hal ini. Seorang ibu ingin melindungi anaknya, seorang guru ingin menjaga akal muridnya, seorang petani ingin mempertahankan tanahnya, dan seorang santri ingin menjaga imannya. Semua itu adalah wajah dari maslahat.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dengan demikian, maqāṣid al-syarī‘ah bukan konsep abstrak, melainkan denyut kehidupan yang terasa nyata.

Rahmat dan Hikmah di Balik Maslahat

Al-Syāṭibī kembali mengingatkan:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الرَّحْمَةِ وَالْحِكْمَةِ وَالْمَصْلَحَةِ”
“Syariat dibangun atas dasar rahmat, hikmah, dan maslahat.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).

Hukum yang keras tanpa rahmat akan melukai. Sebaliknya, hukum yang penuh kasih akan membimbing. Seperti tangan seorang ibu yang lembut namun tegas ketika menuntun anaknya belajar berjalan, syariat hadir dengan keseimbangan antara aturan dan cinta.

Di negeri ini, kita sering menyaksikan konflik karena hukum dipahami sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai penuntun maslahat. Padahal, jika hukum dijalankan dengan jiwa maslahat, ia akan memelihara kedamaian, bukan menimbulkan luka.

Penutup: Menemukan Jiwa dalam Hukum

Maslahat adalah jiwa dari setiap hukum Islam. Tanpanya, syariat hanya menjadi teks beku, kehilangan getarannya. Tetapi dengan maslahat, setiap hukum berubah menjadi cahaya yang menuntun manusia menuju kehidupan yang lebih baik.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Dalam diri setiap manusia Indonesia, ada kerinduan pada keadilan, ketenteraman, dan kasih sayang. Dan itulah yang dimaksud al-Syāṭibī: hukum Islam adalah napas maslahat yang selalu hadir, menghidupkan fitrah, dan menuntun menuju Allah.

Jika Rumi berkata, “Jangan hanya lihat jubah, lihatlah cahaya yang memancar darinya,” maka al-Syāṭibī mengajarkan: jangan hanya lihat teks hukum, temukanlah maslahat yang menjadi jiwanya.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement