Surau.co. Ketika kita menatap kehidupan, sering kali muncul pertanyaan: mengapa syariat hadir di tengah manusia? Seperti aliran sungai yang mengikuti lembahnya, syariat tidak pernah hadir untuk menentang fitrah, melainkan menuntun. Dalam kitab al-Muwāfaqāt, al-Syāṭibī menjelaskan bahwa tujuan syariat adalah menjaga kehidupan manusia agar tetap berada di jalan keseimbangan. Fitrah dan syariat bukan dua hal yang berseberangan, tetapi ibarat cermin dan wajah—saling menampakkan satu sama lain.
Di Indonesia, kita melihat fenomena sosial di mana banyak orang rindu pada kehidupan yang jujur, tenteram, dan penuh keadilan. Namun, modernitas sering membawa kebingungan: apakah agama masih relevan? Justru di sinilah syariat tampil sebagai penjaga fitrah. Ia tidak memaksa manusia keluar dari kemanusiaannya, melainkan menghidupkan kembali nurani yang kadang tertutup oleh debu keserakahan.
Fitrah Manusia dan Kelembutan Syariat
Al-Syāṭibī menegaskan:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ إِنَّمَا وُضِعَتْ لِإِخْرَاجِ الْمُكَلَّفِ عَنْ دَاعِيَةِ هَوَاهُ حَتَّى يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ اخْتِيَارًا كَمَا هُوَ عَبْدٌ لَهُ اضْطِرَارًا”
“Syariat diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsu, agar ia menjadi hamba Allah dengan pilihan, sebagaimana ia adalah hamba Allah dengan keterpaksaan.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).
Pesan ini sederhana namun mendalam: fitrah manusia memang mudah condong pada keinginan sesaat. Syariat tidak hadir untuk membunuh keinginan, tetapi untuk mengarahkannya agar tetap indah. Seperti air yang ditampung bendungan: jika dibiarkan liar, ia menghancurkan; namun jika diarahkan, ia menjadi sumber kehidupan.
Syariat sebagai Jalan Hidup yang Menghidupkan
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” (QS. al-Rūm: 30).
Ayat ini menjadi kunci bahwa fitrah manusia dan agama tidak pernah saling meniadakan. Bahkan, ketika manusia mencari keadilan, kejujuran, dan cinta, itu adalah bisikan fitrah yang dihidupkan syariat. Fenomena sosial di Indonesia juga memperlihatkan hal ini: masyarakat menolak ketidakadilan, menuntut kesejahteraan, dan merindukan kehidupan bermartabat. Bukankah itu tanda fitrah yang selaras dengan syariat?
Menjaga Lima Tujuan Pokok Kehidupan
Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt menjelaskan bahwa maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat) terdiri dari lima hal: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ia menulis:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِحِفْظِ الضَّرُورِيَّاتِ الْخَمْسَ وَهِيَ الدِّينُ وَالنَّفْسُ وَالْعَقْلُ وَالنَّسْلُ وَالْمَالُ”
“Sesungguhnya syariat datang untuk menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).
Di balik lima hal ini, ada bahasa fitrah yang mudah dipahami siapa pun. Setiap manusia, tanpa memandang budaya atau bangsa, ingin hidup aman, memiliki keluarga, melindungi akalnya dari kebodohan, menjaga hartanya, dan merawat keyakinannya. Inilah sebabnya syariat terasa begitu dekat dengan hati: karena ia menjawab kerinduan dasar manusia.
Harmoni antara Kemanusiaan dan Syariat
Al-Syāṭibī juga menegaskan:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ لِلتَّقْرِيبِ إِلَى الْمَصَالِحِ وَالتَّبْعِيدِ عَنِ الْمَفَاسِدِ”
“Syariat datang untuk mendekatkan kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).
Di tengah hiruk-pikuk kota besar di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana keserakahan menggerus lingkungan, bagaimana korupsi merampas hak rakyat kecil. Namun ketika syariat dipahami, ia bukan sekadar hukum kaku, melainkan jalan hidup yang memberi arah. Ia mengajak manusia untuk kembali pada harmoni, seperti pohon yang rindang menaungi siapa pun yang berteduh.
Fitrah Tidak Pernah Bertentangan dengan Kasih Sayang Allah
Rumi pernah menulis bahwa hati manusia seperti cermin, dan agama adalah tangan yang membersihkannya. Demikian pula al-Syāṭibī mengingatkan:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الرَّحْمَةِ وَالْعَدْلِ وَالْحِكْمَةِ”
“Syariat dibangun di atas rahmat, keadilan, dan hikmah.” (al-Muwāfaqāt, Juz II).
Ketika hati manusia haus akan makna, syariat hadir sebagai air jernih yang menyejukkan. Ia tidak membelenggu, melainkan membebaskan. Ia tidak merampas fitrah, melainkan menumbuhkan bunga di tanah fitrah itu sendiri.
Penutup: Syariat sebagai Cermin Kehidupan
Jika kita renungkan, syariat tidak datang untuk memisahkan manusia dari hidupnya, tetapi untuk mengajarkan bagaimana hidup secara lebih utuh. Dalam wajah seorang petani yang berjuang jujur, dalam doa seorang ibu yang tulus, dalam semangat pemuda menolak ketidakadilan—semua itu adalah tanda bahwa syariat dan fitrah berjalan beriringan.
Syariat adalah bahasa Allah untuk fitrah manusia. Dan manusia, dengan fitrahnya, menemukan kedamaian sejati hanya ketika bersandar kepada syariat.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
