Khazanah
Beranda » Berita » Hukum Islam Bukan Sekadar Teks, Tapi Juga Tujuan

Hukum Islam Bukan Sekadar Teks, Tapi Juga Tujuan

Ilustrasi ulama menulis kitab dengan cahaya keluar dari teks.
Ulama menulis di kitab, huruf-huruf memancarkan cahaya sebagai simbol maqasid.

Surau.co. Hukum Islam bukan sekadar teks, tapi juga tujuan. Al-Syāṭibī melalui al-Muwāfaqāt mengajarkan bahwa syariat hadir bukan hanya sebagai deretan hukum kaku, melainkan jalan hidup yang menuntun manusia pada kebahagiaan, keadilan, dan keberlanjutan. Dalam teks memang ada huruf, tetapi di balik huruf itu ada ruh, ada cahaya yang ingin menuntun.

Di Indonesia, kita sering menyaksikan hukum agama dipahami sekadar aturan hitam-putih. Orang takut melanggar, tetapi lupa menghayati maknanya. Misalnya, ketika zakat ditunaikan hanya sebagai kewajiban, padahal ia adalah jembatan cinta antara kaya dan miskin. Di sinilah pesan maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan syariat) menjadi penting: hukum bukan hanya teks, ia adalah nafas kehidupan.

Syariat sebagai Penjaga Kehidupan

Al-Syāṭibī menulis dalam al-Muwāfaqāt:

“الشريعة إنما وُضعت لحفظ مقاصدها في الخلق”
“Syariat ditetapkan untuk menjaga tujuan-tujuannya dalam kehidupan manusia.”

Kalimat ini menyadarkan bahwa hukum Islam berfungsi melindungi manusia, bukan membebaninya. Ia menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Fenomena sosial di negeri kita memberi contoh jelas. Saat pandemi melanda, masjid ditutup sementara. Sebagian orang gusar, mengira agama diabaikan. Namun jika dilihat dari maqāṣid, keputusan itu justru menjaga jiwa, yang juga bagian dari syariat. Inilah bukti hukum Islam tidak berhenti pada teks, melainkan menembus ke inti tujuan.

Antara Huruf dan Ruh

Al-Syāṭibī mengingatkan:

“الأحكام الشرعية تابعة لمصالح العباد في الدنيا والآخرة”
“Hukum-hukum syariat mengikuti kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat.”

Jika hukum hanya dibaca sebatas huruf, maka ia bisa terasa keras. Tetapi ketika dipahami dari sisi maslahat, hukum berubah menjadi pelukan.

Di desa-desa Indonesia, banyak kiai yang mengajarkan agama dengan penuh kelembutan. Mereka tidak hanya berkata, “Ini halal, ini haram,” tetapi juga menjelaskan mengapa sesuatu itu baik atau buruk. Seperti seorang ayah yang tidak sekadar melarang anaknya bermain api, tetapi juga menunjukkan luka yang mungkin terjadi. Itulah ruh dari syariat: menghidupkan kasih sayang.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Tujuan Lebih Besar dari Sekadar Formalitas

Dalam al-Muwāfaqāt tertulis:

“المصلحة هي الغاية من وضع الشريعة”
“Maslahat adalah tujuan dari ditetapkannya syariat.”

Maslahat bukan berarti mengikuti hawa nafsu, melainkan manfaat hakiki yang selaras dengan hikmah Ilahi. Misalnya, larangan riba bukan hanya tentang teks Qur’an, tetapi juga tentang melindungi orang kecil dari penindasan ekonomi.

Fenomena sosial di Indonesia memperlihatkan luka akibat riba. Banyak keluarga hancur karena jeratan hutang berbunga tinggi. Jika hukum dilihat hanya sebagai larangan, orang mungkin bertanya-tanya “mengapa begitu keras?” Namun jika dipahami sebagai perlindungan dari keserakahan, larangan itu terasa lembut seperti tangan ibu yang menahan anaknya dari bahaya.

Manusia sebagai Subjek, Bukan Objek

Al-Syāṭibī juga berkata:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“التكليف موضوع لمصالح العباد لا لمجرد التعبد”
“Taklif (pembebanan syariat) ditetapkan demi kemaslahatan hamba, bukan sekadar untuk ibadah formal.”

Ayat Al-Qur’an pun menegaskan:

﴿وما جعل عليكم في الدين من حرج﴾
“Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)

Hukum Islam hadir bukan untuk mengekang, tetapi untuk membuka jalan hidup yang lebih baik.

Di Indonesia, kita melihat contoh dari para petani yang tetap shalat di sawah dengan pakaian penuh lumpur. Shalat mereka sah, meski tak mengenakan baju putih bersih seperti di kota. Karena Allah tidak menuntut kesempurnaan pakaian, melainkan kesungguhan hati.

Penutup: Hukum Sebagai Jalan Cinta

Jika Rumi bicara tentang syariat, ia mungkin berkata: “Huruf-huruf hukum adalah pintu, sedangkan ruhnya adalah taman. Jangan berhenti di pintu, masuklah ke dalam taman.”

Hukum Islam bukan sekadar teks, tapi juga tujuan. Teks adalah peta, tujuan adalah perjalanan. Jika kita hanya sibuk dengan peta, kita takkan pernah sampai. Tetapi jika kita berjalan dengan memahami arah, kita akan menemukan kedamaian yang dijanjikan.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement