Khazanah
Beranda » Berita » Taqlid: Bolehkah Kita Hanya Mengikuti?

Taqlid: Bolehkah Kita Hanya Mengikuti?

Santri dan ulama membahas kitab dalam cahaya remang.
Seorang murid belajar kepada guru, simbol perjalanan dari kepatuhan menuju kesadaran.

Surau.co. Taqlid selalu menjadi perbincangan hangat dalam khazanah hukum Islam. Dari warung kopi desa hingga ruang diskusi kampus, pertanyaan itu terus menggema: bolehkah kita hanya mengikuti tanpa memahami? Dalam karya monumentalnya, al-Muwāfaqāt, al-Syāṭibī menghadirkan jawaban yang lembut namun tajam: syariat bukanlah sekadar untuk diikuti buta, melainkan untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan dengan kesadaran.

Di Indonesia, kita sering melihat masyarakat masih menggantungkan diri pada fatwa ulama tanpa bertanya lebih jauh. Fenomena ini menunjukkan adanya kerinduan untuk beragama dengan benar, namun juga ada rasa takut menafsirkan sendiri. Lalu, apakah taqlid sepenuhnya salah? Ataukah ia pintu awal menuju kedalaman iman?

Antara Taqlid dan Pencarian Makna

Al-Syāṭibī menulis dalam al-Muwāfaqāt:

“التقليد في الشريعة إنما يصح عند العجز عن النظر والاستدلال”
“Taqlid dalam syariat hanya sah ketika seseorang tidak mampu melakukan kajian dan istidlal (penalaran).”

Kutipan ini menegaskan bahwa taqlid bukanlah tujuan akhir, melainkan keadaan darurat bagi mereka yang belum mampu berijtihad. Seperti seorang anak yang digandeng ibunya ketika menyeberangi jalan, ia mengikuti bukan karena malas, tetapi karena belum cukup kuat berjalan sendiri.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Di negeri ini, kita melihat hal itu nyata. Banyak orang tua di desa menjalankan ibadah dengan penuh kepasrahan, mengikuti ajaran kyai mereka. Meski sederhana, hati mereka tetap bergetar dalam doa.

Ulama sebagai Lentera, Bukan Bayangan

Taqlid tanpa arah bisa menjerumuskan, namun taqlid kepada ulama yang lurus justru bisa menjadi jembatan. Al-Syāṭibī menulis:

“إنما جاز التقليد للعامي إذا كان المفتي عالماً عدلاً”
“Taqlid hanya diperbolehkan bagi orang awam apabila mufti yang diikuti adalah seorang alim dan adil.”

Artinya, mengikuti ulama bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan karena mereka adalah pelita. Di Indonesia, sosok ulama seringkali menjadi bukan hanya guru agama, tetapi juga pengayom sosial. Dari memberi fatwa halal-haram, hingga menenangkan hati warga ketika bencana datang, ulama hadir sebagai cahaya.

Kritis Tanpa Hilang Hormat

Namun, al-Syāṭibī juga menekankan pentingnya kesadaran dalam mengikuti. Ia menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“المقلد لا بد أن يعلم أن ما قلده فيه إنما هو شريعة الله لا رأي المفتي”
“Seorang yang bertaqlid harus menyadari bahwa apa yang diikutinya adalah syariat Allah, bukan sekadar pendapat mufti.”

Pesan ini penting di tengah fenomena sosial Indonesia, di mana kadang masyarakat mengkultuskan tokoh agama tanpa membedakan mana syariat dan mana opini personal. Kesadaran inilah yang menjaga agar taqlid tidak berubah menjadi penghambaan kepada manusia, melainkan tetap terikat kepada Allah.

Taqlid dan Jalan Cinta yang Menghidupkan

Jika Rumi berbicara, mungkin ia akan berkata: “Taqlid adalah ketika kau belajar menari mengikuti langkah gurumu, namun suatu saat kau akan menemukan tarianmu sendiri.”

Dalam al-Muwāfaqāt, al-Syāṭibī menulis dengan penuh kelembutan:

“المصلحة الحقيقية أن يعبد العبد ربه عن بصيرة لا عن تقليد”
“Kemaslahatan sejati adalah ketika hamba menyembah Tuhannya dengan pemahaman, bukan sekadar dengan taqlid.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Taqlid boleh menjadi pintu, tetapi bukan rumah tempat kita menetap selamanya. Ada saatnya kita belajar, memahami, dan akhirnya menyembah dengan hati yang sadar.

Relevansi Taqlid di Indonesia Modern

Di zaman modern, taqlid menemukan bentuknya yang baru. Banyak orang mencari fatwa cepat melalui media sosial, bahkan tanpa memeriksa otoritas ulama yang memberi jawaban. Fenomena ini berisiko, karena bisa menyesatkan jika yang diikuti tidak memiliki keilmuan yang cukup.

Namun, di sisi lain, taqlid juga menyelamatkan. Banyak masyarakat awam terbantu dengan kemudahan fatwa praktis, sehingga tetap bisa menjalankan agama meski tidak sempat mendalami ilmu. Seperti seorang musafir yang ditunjukkan arah oleh peta digital, ia tidak perlu menguasai seluruh ilmu geografi untuk sampai tujuan.

Penutup: Ikuti dengan Hati yang Terjaga

Taqlid bukan sekadar tentang mengikuti atau tidak mengikuti, melainkan tentang kesadaran. Kita boleh memulai dengan taqlid, karena tidak semua orang mampu menjadi mujtahid. Namun, hati kita harus tetap terhubung pada Allah, bukan hanya pada sosok manusia.

Rumi pernah berkata: “Jangan berhenti pada pintu guru, karena guru hanya menunjukkan jalan. Ikutilah hingga kau sampai ke Hadirat-Nya.”

Begitu pula taqlid, ia hanyalah permulaan dari perjalanan panjang menuju ibadah yang penuh makna.

 

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedooyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement