Surau.co. Di tengah riuh rendah kehidupan sosial, hukum Islam tidak pernah hadir sekadar menjadi teks yang kaku. Ia adalah cahaya yang senantiasa bergerak bersama zaman, menjawab kegelisahan manusia dari generasi ke generasi. Ijtihad menjadi jalan yang ditempuh para ulama untuk menyalakan obor itu, sebagaimana ditegaskan al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt, bahwa hukum hadir bukan hanya untuk mengikat, melainkan untuk menjaga kemaslahatan.
Fenomena di Indonesia pun memperlihatkan betapa ijtihad selalu dibutuhkan. Dari soal digitalisasi ekonomi umat, pernikahan lintas budaya, hingga problem lingkungan yang semakin genting—semua menuntut jawaban yang segar namun tetap berpijak pada syariat.
Hukum Islam yang Hidup Bersama Waktu
Ijtihad bukanlah sekadar pencarian hukum baru, melainkan napas hidup yang membuat syariat tetap selaras dengan denyut zaman. Al-Syāṭibī menulis dalam al-Muwāfaqāt:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ وُضِعَتْ لِإِخْرَاجِ الْمُكَلَّفِ عَنْ دَاعِيَةِ هَوَاهُ، حَتَّى يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ اخْتِيَارًا كَمَا هُوَ عَبْدٌ لِلَّهِ اضْطِرَارًا”
“Syariat diturunkan untuk membebaskan manusia dari dorongan hawa nafsunya, agar ia menjadi hamba Allah secara sadar sebagaimana ia adalah hamba Allah secara kodrat.”
Di kota-kota besar Indonesia, kita melihat anak muda yang berjuang menjaga integritas diri di tengah arus konsumerisme. Ijtihad ulama, lewat fatwa maupun bimbingan, menjadi jembatan agar mereka tidak kehilangan arah.
Ulama sebagai Penafsir Rahmat
Ijtihad tidak berdiri di ruang hampa. Ia dijalankan oleh para ulama yang hatinya basah oleh kasih sayang. Seperti ditulis al-Syāṭibī:
“المجتهد لا يقصد بما يجتهد فيه إلا اتباع قصد الشارع”
“Seorang mujtahid tidak menghendaki dari ijtihadnya kecuali mengikuti maksud syariat.”
Di Indonesia, masyarakat sering melihat ulama bukan hanya sebagai pemberi hukum, tetapi juga sebagai penuntun batin. Ketika pandemi melanda, misalnya, ulama mengeluarkan ijtihad tentang shalat berjamaah di rumah atau vaksinasi. Itu bukan sekadar fatwa, melainkan bentuk rahmat agar umat tetap sehat sekaligus tetap dekat dengan Allah.
Keadilan sebagai Denyut Utama Ijtihad
Al-Syāṭibī menegaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah menghadirkan keadilan. Dalam al-Muwāfaqāt beliau menulis:
“المقصد الشرعي من وضع الشريعة إخراج المكلف عن الظلم إلى العدل”
“Tujuan syariat adalah mengeluarkan manusia dari kezaliman menuju keadilan.”
Kita melihat fenomena di Indonesia—dari sengketa agraria hingga kesenjangan ekonomi—semua menjerit meminta keadilan. Ijtihad ulama memberi ruang tafsir, agar syariat tidak berhenti pada teks, tetapi hadir menyembuhkan luka sosial.
Ijtihad dan Cinta yang Menyelamatkan
Jika Rumi berbicara, ia akan berkata: “Ijtihad adalah tarian hati dengan kehendak Ilahi.” Ulama tidak mencari popularitas dalam ijtihadnya, melainkan mencari keridhaan.
Al-Syāṭibī pun menulis dengan nada yang penuh kelembutan:
“المصالح التي راعاها الشرع إنما هي تابعة لحكمة الله ورحمته بعباده”
“Kemaslahatan yang dijaga oleh syariat hanyalah mengikuti hikmah Allah dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya.”
Maka ijtihad bukanlah beban, melainkan cinta. Cinta ulama kepada umatnya, cinta manusia kepada Tuhannya.
Relevansi Ijtihad di Indonesia Modern
Indonesia adalah laboratorium besar ijtihad. Dari Aceh hingga Papua, keragaman budaya menuntut hukum Islam hadir dengan wajah yang inklusif. Masalah fintech syariah, perlindungan lingkungan, hingga etika digital, semuanya memerlukan keberanian ulama untuk menafsirkan kembali maqāṣid al-sharī‘ah.
Ijtihad di sini tidak hanya mengulang fatwa klasik, melainkan menyapa manusia dengan bahasa yang bisa dipahami: lembut, membumi, sekaligus visioner. Sebagaimana seorang bijak berkata, hukum Islam adalah sungai yang mengalir, bukan beku seperti batu.
Penutup: Menyalakan Obor Zaman
Ijtihad adalah obor yang dibawa ulama agar kita tidak tersesat di jalan panjang sejarah. Dari al-Muwāfaqāt, kita belajar bahwa hukum Islam hadir bukan untuk membelenggu, melainkan untuk membebaskan.
Di Indonesia, di mana tantangan sosial, ekonomi, dan budaya terus bergerak, ijtihad menjadi jalan rahmat yang menyatukan. Bukan hanya fatwa, tetapi juga doa yang menjelma menjadi cahaya.
Rumi pernah berbisik: “Janganlah kau takut berjalan di jalan panjang. Selama ada cahaya cinta, setiap langkahmu adalah ibadah.” Begitu pula ijtihad, ia adalah perjalanan panjang menuju keadilan dan kemaslahatan.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
