Surau.co. Ketika hukum Islam berbicara tentang keadilan, ia tidak datang seperti pedang yang menebas, melainkan seperti cahaya yang membuka tirai kegelapan. Syariat bukan hanya kumpulan aturan, tetapi juga jalan yang menghubungkan langit dan bumi. Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt menekankan bahwa tujuan syariat adalah menjaga kemaslahatan dan menegakkan keadilan bagi seluruh manusia.
Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan betapa kata “keadilan” selalu menjadi harapan. Dari buruh tani yang menunggu upah layak, hingga mahasiswa yang turun ke jalan menuntut transparansi kebijakan, semua berakar pada kerinduan yang sama: keadilan. Dalam syariat, kerinduan itu bukan hanya wacana, melainkan perintah ilahi.
Al-Syāṭibī menulis:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ عَدْلٌ كُلُّهَا، رَحْمَةٌ كُلُّهَا، مَصَالِحُ كُلُّهَا”
“Sesungguhnya syariat itu seluruhnya adalah keadilan, seluruhnya adalah rahmat, dan seluruhnya adalah kemaslahatan.”
Keadilan sebagai Nafas Kehidupan Bersama
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bagaimana orang tua di pasar membagi buah dengan harga yang adil, atau guru di sekolah yang memberi perhatian sama rata kepada muridnya. Itulah wajah keadilan sederhana yang sesungguhnya merupakan ruh syariat.
Rumi pernah berkata, “Keadilan adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, sementara kezaliman adalah mencabut akar dari tanah yang bukan miliknya.” Begitu pula hukum Islam, ia tidak lahir untuk menghukum semata, tetapi untuk menjaga agar hidup manusia tidak miring pada ketidakadilan.
Al-Syāṭibī mengingatkan:
“الْمَقْصُودُ مِنَ الشَّرِيعَةِ إِقَامَةُ الْعَدْلِ بَيْنَ الْعِبَادِ”
“Tujuan syariat adalah menegakkan keadilan di antara hamba-hamba Allah.”
Fenomena Sosial: Jeritan Keadilan di Negeri Ini
Indonesia sering menjadi cermin betapa sulitnya menjaga keseimbangan keadilan. Ada yang hidup berlebih, sementara sebagian besar masih berjuang dengan kebutuhan dasar. Namun syariat mengajarkan bahwa tidak boleh ada kesenjangan yang memutuskan persaudaraan.
Allah ﷻ menegaskan dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Naḥl [16]: 90)
Ayat ini sering dibacakan dalam khutbah Jumat, seakan menjadi pengingat abadi: masyarakat akan berdiri kokoh jika keadilan ditegakkan.
Keadilan dalam Ranah Harta dan Jiwa
Syariat juga menekankan bahwa keadilan bukan hanya dalam hukum pidana, tetapi juga dalam pembagian harta, dalam hubungan keluarga, bahkan dalam menjaga jiwa.
Al-Syāṭibī menulis:
“الْمَالُ وَالنَّفْسُ وَالدِّينُ وَالْعَقْلُ وَالنَّسْلُ مَحَاطَةٌ بِالْعَدْلِ، وَبِفَقْدِهِ تَفْسُدُ الْمَعَاشُ”
“Harta, jiwa, agama, akal, dan keturunan hanya bisa terjaga dengan keadilan; tanpa keadilan, kehidupan akan rusak.”
Fenomena di Indonesia memperlihatkan hal ini. Ketika bantuan sosial tidak merata, muncul kegelisahan. Namun, ketika pembagian dilakukan adil, lahir ketenangan. Keadilan adalah nafas, ia membuat semua manusia merasa memiliki ruang yang sama untuk hidup.
Jalan Tengah: Keadilan yang Menghidupkan
Keadilan dalam syariat bukan sekadar angka dalam hukum, melainkan ruh yang menghidupkan. Hukum Islam berbicara tentang keadilan dengan cara yang halus sekaligus tegas: tidak berat sebelah, tidak menindas, dan tidak membebani.
Rumi berbisik, “Keadilan adalah memberi air kepada akar pohon, bukan pada daunnya. Karena dari akar, kehidupan tumbuh untuk semua.”
Al-Syāṭibī pun menekankan:
“إِذَا فُقِدَ الْعَدْلُ، فَقَدَتِ الشَّرِيعَةُ مَقْصُودَهَا”
“Apabila keadilan hilang, maka syariat kehilangan maksudnya.”
Penutup: Menegakkan Keadilan Sebagai Amanah
Ketika hukum Islam berbicara tentang keadilan, ia sesungguhnya sedang berbicara tentang kehidupan itu sendiri. Ia tidak hanya mengatur bagaimana hakim memutuskan perkara, tetapi juga bagaimana seorang ibu membagi kasih sayang, bagaimana seorang pemimpin mengelola negeri, bagaimana seorang pedagang menjaga timbangan.
Syariat tidak membiarkan manusia tersesat dalam ketimpangan. Ia mengingatkan: keadilan adalah tiang yang menegakkan dunia. Jika tiang itu rapuh, maka rumah kehidupan akan runtuh.
Maka, tugas kita adalah menjaga keadilan, mulai dari diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat luas. Karena pada akhirnya, keadilan bukan hanya hukum, tetapi cahaya yang membuat hidup lebih manusiawi.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
