Surau.co. Antara kebutuhan dan kenyamanan, syariat hadir bukan sebagai beban, melainkan cahaya yang menuntun langkah manusia. Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt menegaskan bahwa syariat diturunkan bukan untuk memberatkan manusia, tetapi menjaga keberlangsungan hidup mereka dalam keseimbangan.
Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan hal ini dengan jelas. Banyak keluarga sederhana yang tetap bisa beribadah meski hidup pas-pasan, dan banyak pula orang kaya yang tetap diuji dengan kesibukan serta rasa gelisah. Syariat hadir untuk meneguhkan bahwa ukuran kebahagiaan bukanlah harta semata, melainkan kelapangan hati dalam menjalani hidup.
Al-Syāṭibī menulis:
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ إِنَّمَا وُضِعَتْ لِلتَّوْسِعَةِ عَلَى الْعِبَادِ، لَا لِلتَّضْيِيقِ عَلَيْهِمْ”
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk memberi keluasan kepada hamba-hamba Allah, bukan untuk menyulitkan mereka.”
Hidup Sederhana di Tengah Kehidupan Modern
Di kampung-kampung Indonesia, kita sering melihat seorang petani yang hidup dengan serba cukup. Ia menanam padi, menjual hasilnya, lalu menyisihkan sebagian untuk zakat. Meski tidak kaya raya, hatinya lapang karena ia merasa syariat tidak menuntut lebih dari apa yang ia miliki.
Sementara di kota-kota besar, banyak orang terjebak dalam perlombaan kenyamanan: rumah lebih mewah, kendaraan lebih baru, gaya hidup lebih tinggi. Padahal syariat tidak pernah meminta manusia menukar kebahagiaan batin dengan kelelahan mengejar dunia.
Allah ﷻ berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Ayat ini menjadi napas yang menyejukkan, seolah berkata: jangan takut pada syariat, sebab ia tidak lahir untuk menindas, melainkan untuk menuntun.
Keseimbangan Antara Darurat dan Keringanan
Al-Syāṭibī menegaskan pentingnya memahami maqāṣid syarī‘ah, yaitu tujuan syariat. Dalam kondisi darurat, syariat memberikan keringanan agar manusia tidak terbebani.
“الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ”
“Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang semula terlarang.”
Contoh nyata terlihat saat pandemi melanda Indonesia. Banyak umat Islam yang terpaksa shalat di rumah karena masjid ditutup untuk mencegah penularan. Sebagian orang merasa kehilangan, tetapi syariat memberi kelapangan: menjaga jiwa lebih utama daripada memaksakan bentuk ibadah yang berisiko.
Seperti kata Rumi, “Allah tidak ingin kau patah karena aturan. Ia ingin kau terbang dengan sayap kasih-Nya.”
Harta, Keluarga, dan Jiwa yang Tenang
Syariat juga mengajarkan keseimbangan antara kebutuhan pokok dan kenyamanan. Harta memang dibutuhkan untuk menjaga kehidupan, tetapi tidak boleh menjadi belenggu yang membuat jiwa gelisah.
Al-Syāṭibī menulis dalam al-Muwāfaqāt:
“الْمَقْصُودُ مِنَ التَّكْلِيفِ إِخْرَاجُ الْمُكَلَّفِ عَنْ دَاعِيَةِ الْهَوَى حَتَّى يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ اخْتِيَارًا كَمَا هُوَ عَبْدٌ لَهُ اضْطِرَارًا”
“Tujuan dari taklīf (pembebanan hukum) adalah mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsu, agar ia menjadi hamba Allah secara pilihan, sebagaimana ia adalah hamba Allah secara takdir.”
Di banyak keluarga Indonesia, kita melihat hal ini: seorang ibu yang berhemat untuk menyekolahkan anaknya, seorang ayah yang rela bekerja keras meski hasilnya kecil, semua dilakukan bukan demi kenyamanan berlebihan, tetapi demi kebutuhan pokok yang menjaga martabat.
Syariat Sebagai Rahmat di Tengah Kehidupan
Jika kita menengok lebih dalam, syariat tidak pernah hadir untuk mengikat, melainkan membuka jalan. Ia menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Semua itu adalah kebutuhan, bukan kemewahan.
Al-Syāṭibī berkata:
“مَقَاصِدُ الشَّرِيعَةِ إِنَّمَا هِيَ حِفْظُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ”
“Tujuan syariat tiada lain kecuali menjaga kemaslahatan dan menolak kerusakan.”
Maka, ketika seorang pedagang kecil tetap jujur meski untungnya tipis, ketika seorang guru mengajar meski gajinya tidak besar, ketika seorang santri belajar dengan tekun meski makan sederhana—semua itu adalah wajah syariat yang nyata: ia memberi kelapangan, bukan beban.
Penutup: Syariat yang Membebaskan Jiwa
Antara kebutuhan dan kenyamanan, syariat menuntun manusia memilih jalan yang lurus. Ia tidak menuntut kita hidup mewah, juga tidak membiarkan kita hidup tanpa arah. Ia memberi keseimbangan: cukup dalam kebutuhan, tenang dalam hati, dan lapang dalam jiwa.
Rumi pernah berbisik, “Jangan takut pada beban yang kau kira ada di pundakmu. Itu bukan beban, melainkan sayap yang membuatmu terbang.” Begitulah syariat: tampak seperti aturan, tetapi sejatinya rahmat.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
