Surau.co. Mengapa harta menjadi tujuan pokok syariat? Pertanyaan ini tidak sekadar mengundang jawaban logis, melainkan mengetuk pintu hati kita. Harta bukan hanya koin dingin atau lembaran kertas, melainkan denyut kehidupan yang membuat manusia bisa menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan keberlangsungan hidupnya.
Di Indonesia, kita melihat fenomena nyata: orang bekerja keras dari pagi hingga malam, bukan sekadar untuk kaya, tetapi demi memberi makan anak, menyekolahkan mereka, dan menjaga kehormatan keluarga. Harta, dengan segala perannya, adalah jalan syariat menjaga martabat manusia.
Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt menegaskan bahwa syariat hadir untuk memelihara lima hal pokok (al-ḍarūriyyāt al-khams), salah satunya adalah harta (al-māl). Ia berkata:
“وَإِنَّمَا قُصِدَتِ الشَّرِيعَةُ لِحِفْظِ الضَّرُورِيَّاتِ، وَمِنْهَا الْمَالُ”
“Sesungguhnya syariat diturunkan untuk menjaga kebutuhan pokok, dan di antaranya adalah harta.”
Harta Sebagai Nafas Kehidupan Sosial
Bayangkan seorang ayah di kampung yang setiap hari mengayuh sepeda motor tua untuk menjual sayuran. Ia bukan hanya mencari uang, tetapi menjaga ḥifẓ al-nafs (kehidupan jiwa). Tanpa harta, anak-anaknya tak bisa makan, bahkan shalat pun akan terganggu oleh lapar.
Rumi pernah berkata, “Dunia ini seperti cermin. Jika engkau menatapnya dengan nafsu, ia hanya menampilkan wajah emas dan perak. Tetapi jika engkau tatap dengan hati, ia memperlihatkan rahasia Tuhan.” Demikian pula harta. Bila dilihat sebagai tujuan akhir, ia menjerat; tetapi bila dipahami sebagai amanah syariat, ia membebaskan.
Al-Syāṭibī menjelaskan lebih dalam:
“الْمَالُ مَقْصُودٌ لِحِفْظِ النَّفْسِ، وَبِحِفْظِهِ يَسْتَمِرُّ الْعَيْشُ”
“Harta dimaksudkan untuk menjaga kehidupan, dan dengan menjaganya, kehidupan manusia terus berlanjut.”
Fenomena Sosial di Indonesia: Harta dan Kehormatan
Di banyak kota Indonesia, ada perbedaan mencolok antara mereka yang berlimpah harta dengan yang serba kekurangan. Namun, syariat tidak memandang harta sebagai ukuran kemuliaan, melainkan alat untuk menjaga keberlangsungan hidup.
Banyak keluarga miskin yang tetap bisa menjaga kehormatan karena memanfaatkan harta secukupnya, sementara sebagian orang kaya justru kehilangan martabat karena lalai. Inilah wajah sosial kita: harta bisa menjadi penyelamat, tapi juga bisa menjadi cobaan.
Allah ﷻ mengingatkan dalam Al-Qur’an:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang bodoh harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu…” (QS. An-Nisā’ [4]: 5)
Ayat ini seolah menegaskan pesan Syāṭibī: harta adalah qiwām (penopang hidup), bukan sekadar milik pribadi, tetapi amanah untuk dikelola bijak.
Syariat, Harta, dan Tanggung Jawab Kolektif
Al-Syāṭibī juga menyinggung bahwa penjagaan harta tidak hanya tanggung jawab individu, tetapi juga masyarakat. Zakat, infak, dan sedekah adalah wujud kolektif agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya.
“وَإِنَّمَا شُرِعَتِ الزَّكَاةُ لِيَبْقَى الْمَالُ دَائِرًا بَيْنَ الْعِبَادِ”
“Zakat disyariatkan agar harta tetap berputar di antara hamba-hamba Allah.”
Fenomena sosial di Indonesia membuktikan hal ini. Saat pandemi melanda, banyak UMKM yang bertahan karena solidaritas sosial: orang kaya membeli produk mereka, masjid menggalang donasi, tetangga saling memberi. Di sanalah syariat bekerja dalam wajah nyata: harta menjadi jembatan rahmat, bukan sekadar angka dalam rekening.
Jalan Tengah: Harta Sebagai Amanah, Bukan Berhala
Dalam kehidupan modern, harta sering menjadi berhala baru. Banyak orang bekerja tanpa henti, rela meninggalkan keluarga, bahkan menukar kejujuran demi harta. Padahal, tujuan syariat bukanlah menumpuk kekayaan, melainkan menata kehidupan agar manusia lebih dekat pada Allah.
Al-Syāṭibī memperingatkan:
“مَنْ جَعَلَ الْمَالَ غَايَةً فَقَدْ خَرَجَ عَنْ مَقْصُودِ الشَّرِيعَةِ”
“Barangsiapa menjadikan harta sebagai tujuan akhir, maka ia telah keluar dari maksud syariat.”
Rumi juga berkata, “Jangan menaruh hatimu pada emas, sebab ia dingin dan bisu. Taruhlah hatimu pada Sang Pemberi rezeki, maka emas akan datang kepadamu sebagai pelayan.”
Penutup: Cahaya Syariat di Balik Harta
Mengapa harta termasuk tujuan pokok syariat? Karena tanpa harta, kehidupan akan goyah, agama sulit tegak, dan manusia kehilangan martabat. Namun, syariat menempatkan harta bukan sebagai dewa yang disembah, melainkan sebagai amanah yang dijaga, dibagi, dan digunakan untuk kebaikan.
Di Indonesia, ketika seorang ibu menyisihkan sedikit uang untuk membeli beras, ketika seorang guru honorer bertahan dengan gaji kecil demi ilmu, ketika seorang petani menanam padi bukan hanya untuk keluarganya tapi juga untuk masyarakat—di situlah harta menjadi bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah.
Harta adalah titipan. Dan syariat mengajarkan: jagalah ia, gunakan ia, lalu lepaskan ia dengan ikhlas di jalan kebaikan. Sebab, bukan harta yang akan kita bawa pulang kelak, melainkan amal yang lahir dari cara kita mengelola harta.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
