Khazanah
Beranda » Berita » Akal, Cahaya yang Dijaga Syariat

Akal, Cahaya yang Dijaga Syariat

Surau.co. Dalam dunia yang penuh hiruk pikuk, manusia sering terseret dalam arus keinginan yang tak bertepi. Namun, di balik semua itu, ada satu anugerah yang selalu menyala, yaitu akal. Al-Syāṭibī dalam karyanya al-Muwāfaqāt menegaskan bahwa akal bukan sekadar alat berpikir, tetapi cahaya yang dijaga oleh syariat agar tidak padam dan tidak salah arah.

Di Indonesia, fenomena sosial kerap memperlihatkan betapa akal manusia bisa menjadi jalan keselamatan atau justru sumber kerusakan. Lihatlah, banyak anak muda yang berjuang dengan kreativitasnya, namun ada pula yang terseret oleh informasi palsu. Akal menjadi penentu: apakah manusia akan memilih jalan lurus atau tersesat.

Akal sebagai Titik Awal Kebenaran

Al-Syāṭibī mengajarkan bahwa syariat turun bukan untuk memadamkan akal, melainkan untuk menuntunnya agar tidak salah langkah. Dalam al-Muwāfaqāt beliau menulis:

“إِنَّ التَّكْلِيفَ مَوْقُوفٌ عَلَى وُجُودِ الْعَقْلِ”
“Sesungguhnya taklif (beban hukum syariat) bergantung pada adanya akal.”

Akal menjadi pintu masuk segala kewajiban. Tanpa akal, syariat tak akan pernah membebankan perintah maupun larangan. Inilah cahaya pertama yang harus kita rawat.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Di tengah masyarakat Indonesia, akal sehat kerap diuji. Ketika berita palsu menyebar di media sosial, ketika fanatisme buta menutup nalar, akal seperti pelita yang ditiup angin kencang. Maka syariat hadir sebagai kaca pelindung, menjaga pelita itu agar tetap menyala.

Syariat Menjaga Akal dari Kebingungan

Al-Syāṭibī juga menegaskan:

“إِنَّ الشَّرِيعَةَ إِنَّمَا جَاءَتْ لِإِخْرَاجِ الْمُكَلَّفِ مِنْ دَاعِيَةِ هَوَاهُ حَتَّى يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ”
“Sesungguhnya syariat datang untuk mengeluarkan seorang mukallaf dari dorongan hawa nafsunya, hingga ia menjadi hamba Allah.”

Akal, bila dibiarkan tanpa syariat, akan mudah diperbudak oleh hawa nafsu. Seperti air yang deras tanpa bendungan, ia bisa menghancurkan. Namun dengan syariat, aliran itu diarahkan menjadi irigasi yang menumbuhkan kehidupan.

Di negeri ini, kita bisa melihat bagaimana syariat menjaga akal. Misalnya, larangan terhadap minuman memabukkan bukan sekadar aturan agama, melainkan penjagaan terhadap kesadaran manusia. Sebab ketika akal hilang, martabat manusia pun runtuh.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Akal, Jembatan antara Dunia dan Akhirat

Al-Syāṭibī menulis dengan penuh kebijaksanaan:

“الْعُقُولُ مَجْبُولَةٌ عَلَى التَّصْدِيقِ بِالضَّرُورِيَّاتِ”
“Akal-akal itu diciptakan untuk membenarkan perkara-perkara yang bersifat darurat (niscaya).”

Akal adalah jembatan yang menghubungkan dunia dan akhirat. Ia membenarkan kebenaran yang tak bisa diingkari: adanya Sang Pencipta, adanya tujuan hidup, dan adanya kehidupan setelah mati. Tanpa akal, manusia hanya akan terjebak dalam pusaran kebutuhan jasmani.

Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan bagaimana banyak orang mencari makna hidup. Mereka berduyun-duyun ke seminar motivasi, mencari kebahagiaan dalam materi, namun akhirnya tetap merasa kosong. Akal yang jernih, bila dituntun syariat, akan mengarahkan manusia menemukan makna yang sejati.

Cahaya yang Menyembuhkan Luka Sosial

Al-Syāṭibī juga menuliskan:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“الْمَقْصُودُ بِالشَّرِيعَةِ إِخْرَاجُ النَّاسِ مِنَ الْمَفَاسِدِ إِلَى الْمَصَالِحِ”
“Tujuan syariat adalah mengeluarkan manusia dari kerusakan menuju kemaslahatan.”

Inilah bukti bahwa syariat bukan sekadar kumpulan aturan, melainkan rahmat yang menyembuhkan. Akal manusia, dengan segala kelemahannya, bisa jatuh ke dalam kerusakan sosial: korupsi, perpecahan, kebohongan publik. Namun syariat hadir untuk membimbing agar akal tidak berhenti di gelapnya keinginan, melainkan menuju cahaya kebaikan.

Di kampung-kampung Indonesia, kita melihat ibu-ibu yang mengajarkan anaknya agar jujur, meski hidup serba sederhana. Itu adalah syariat yang bekerja dalam akal: menjaga agar cahaya tidak padam.

Penutup: Akal dan Syariat, Dua Sahabat Abadi

Akal tanpa syariat bagaikan cahaya tanpa pelindung, mudah padam oleh tiupan angin. Syariat tanpa akal bagaikan kitab tanpa pembaca, indah tapi tak bermakna. Maka keduanya harus berjalan bersama.

Seperti kata al-Syāṭibī, akal adalah pintu, syariat adalah jalan. Bila keduanya bersatu, manusia akan berjalan menuju kebenaran dengan penuh cahaya.

 

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement