Khazanah
Beranda » Berita » Menjaga Agama, Menjaga Hidup: Maqāṣid Syariat yang Pertama

Menjaga Agama, Menjaga Hidup: Maqāṣid Syariat yang Pertama

Ilustrasi manusia memilih jalan terang dengan cahaya agama sebagai simbol menjaga maqasid syariat.
Ilustrasi filosofis manusia yang memilih jalan terang dengan cahaya agama.

Surau.co. Menjaga agama maqāṣid syariat adalah pondasi pertama dalam ajaran Islam. Dalam kitab al-Muwāfaqāt, al-Syāṭibī menempatkan ḥifẓ al-dīn di urutan teratas, karena tanpa agama, kehidupan manusia kehilangan arah. Agama bukan sekadar kewajiban lahiriah, melainkan sumber makna yang membuat setiap langkah menjadi bermakna.

Al-Syāṭibī menegaskan:

“إِنَّ حِفْظَ الدِّينِ مُقَدَّمٌ عَلَى سَائِرِ الْمَقَاصِدِ”
“Sesungguhnya menjaga agama itu lebih didahulukan dibandingkan semua tujuan lainnya.” (al-Muwāfaqāt, II/9).

Di balik kesibukan kota-kota besar Indonesia, dari Jakarta yang macet hingga Surabaya yang hiruk pikuk, orang-orang tetap mencari tempat sunyi untuk berdoa. Fenomena ini menunjukkan bahwa menjaga agama masih menjadi kebutuhan batin, bahkan ketika dunia menawarkan gemerlap yang tampak cukup memabukkan.

Doa yang Menguatkan Pedagang Kecil

Di pasar-pasar tradisional, banyak pedagang kecil yang setiap pagi memulai harinya dengan doa. Mereka sadar, keuntungan bisa naik-turun, tapi keyakinan kepada Allah menjadi energi yang tak habis.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Al-Syāṭibī menulis:

“مَا شُرِعَتِ الشَّرَائِعُ إِلَّا لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ”
“Syariat itu tidaklah disyariatkan kecuali demi kemaslahatan hamba-hamba Allah.” (al-Muwāfaqāt, II/3).

Menjaga agama berarti menghadirkan syariat dalam kehidupan sosial: kejujuran dalam jual beli, kesabaran dalam menghadapi kerugian, dan ketulusan dalam melayani sesama. Nilai ini yang membuat pasar tradisional bukan hanya ruang transaksi, tetapi juga ruang spiritual.

Luka Sosial dan Rapuhnya Iman

Indonesia sering dikejutkan oleh berita korupsi, pertengkaran politik, hingga kerusakan moral yang mencemaskan. Semua itu adalah tanda rapuhnya kesadaran dalam menjaga agama. Padahal, tanpa agama, masyarakat kehilangan etika bersama.

Al-Syāṭibī mengingatkan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“إِذَا فُقِدَ حِفْظُ الدِّينِ فَقَدْ فُقِدَتْ مَقَاصِدُ الشَّرِيعَةِ كُلُّهَا”
“Apabila penjagaan agama hilang, maka hilanglah seluruh tujuan syariat.” (al-Muwāfaqāt, II/10).

Agama bukan hanya urusan masjid dan pesantren. Ia juga hadir di kantor pemerintahan, di jalan raya, bahkan di ruang sidang DPR. Saat agama dijaga, kebijakan lahir dari kejujuran, bukan dari nafsu. Saat agama ditinggalkan, aturan hanya menjadi alat kepentingan.

Santri yang Menemukan Cahaya di Tengah Sepi

Di sebuah pesantren Jawa Timur, seorang santri pernah bercerita, “Aku sering merasa sepi, tapi ketika membaca Al-Qur’an, hatiku menemukan rumah.” Kalimat itu sederhana, namun menggambarkan inti maqāṣid syariat: agama mengubah kesepian menjadi cahaya.

Al-Syāṭibī menulis:

“إِنَّ الدِّينَ مَبْنَاهُ عَلَى مَصَالِحِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ”
“Sesungguhnya agama itu dibangun atas dasar kemaslahatan dunia dan akhirat.” (al-Muwāfaqāt, II/12).

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Menjaga agama berarti memastikan generasi muda tidak kehilangan cahaya itu. Dari ruang kelas sekolah negeri hingga madrasah sederhana, menjaga agama adalah mendidik anak-anak agar tetap memiliki arah, di tengah derasnya arus informasi global.

Menjaga Agama, Menjaga Hidup

Menjaga agama maqāṣid syariat bukan hanya kewajiban formal, tetapi juga kebutuhan eksistensial. Agama memberi manusia pegangan ketika badai hidup datang. Di saat modernitas menawarkan kenyamanan, agama menghadirkan kedalaman.

Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan, meskipun digitalisasi mengubah pola hidup, kebutuhan spiritual tidak pernah hilang. Orang-orang masih mencari pengajian, masih mendengarkan lantunan Al-Qur’an, masih ingin berdoa di masjid-masjid kecil di pinggir jalan. Itu semua tanda bahwa menjaga agama sama dengan menjaga hidup.

Seperti kata Jalaludin Rumi: “Agama adalah pelita. Jika kau biarkan padam, kegelapan akan menelan jalanmu.”

Refleksi Penutup

Menjaga agama berarti menjaga hati, menjaga masyarakat, dan menjaga bangsa. Indonesia bisa maju dengan teknologi, bisa kaya dengan sumber daya alam, namun tanpa cahaya agama, semua itu hanyalah jasad tanpa jiwa.

Maqāṣid syariat mengingatkan kita: sebelum menjaga harta, akal, keturunan, dan jiwa, jagalah agama. Karena di situlah letak kehidupan yang sesungguhnya.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement