Surau.co. Mengapa hukum Islam selalu berkaitan dengan kemaslahatan? Pertanyaan ini seakan sederhana, namun jawabannya menyentuh inti dari tujuan hidup manusia. Dalam karya monumentalnya al-Muwāfaqāt, al-Syāṭibī menegaskan bahwa syariat bukanlah beban, melainkan rahmat. Ia hadir bukan untuk membatasi manusia, tetapi untuk membimbing hati agar sampai pada kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan Indonesia hari ini—dari jalanan macet Jakarta, pasar tradisional di desa, hingga ruang rapat pemerintahan—kita bisa merasakan betapa hukum Allah yang berorientasi pada kemaslahatan selalu relevan.
Syariat Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
Al-Syāṭibī mengingatkan bahwa inti syariat adalah mengeluarkan manusia dari jeratan hawa nafsu menuju ketundukan pada Allah.
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ إِنَّمَا وُضِعَتْ لِإِخْرَاجِ الْمُكَلَّفِ عَنْ دَاعِيَةِ هَوَاهُ حَتَّى يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ اخْتِيَارًا كَمَا هُوَ عَبْدٌ لَهُ اضْطِرَارًا”
“Syariat diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsu, agar ia menjadi hamba Allah dengan pilihan, sebagaimana ia sudah menjadi hamba-Nya secara hakikat.” (al-Muwāfaqāt)
Betapa banyak orang yang tampak merdeka, tetapi sesungguhnya diperbudak oleh ambisinya sendiri. Ada yang terjebak pada kekayaan, ada yang haus kekuasaan, ada pula yang candu pengakuan di media sosial. Syariat hadir untuk menuntun manusia agar tidak karam dalam ombak dirinya sendiri.
Hukum Islam dan Prinsip Keadilan
Jika ditelusuri lebih dalam, hukum Islam selalu berdiri di atas prinsip keadilan. Al-Syāṭibī menulis dengan sangat indah bahwa syariat adalah rahmat yang menolak segala bentuk kezhaliman.
“الشريعة كلها رحمة كلها عدل كلها مصالح كلها حكمة”
“Syariat seluruhnya adalah rahmat, seluruhnya adalah keadilan, seluruhnya adalah maslahat, dan seluruhnya adalah hikmah.” (al-Muwāfaqāt)
Kutipan ini seakan mengajarkan bahwa hukum Islam tidak pernah bermaksud menyulitkan. Justru, ia menjaga keseimbangan agar manusia bisa hidup damai. Kita melihat relevansinya dalam kehidupan sehari-hari: pedagang yang jujur membuat pasarnya berkah, pemimpin yang adil membuat rakyat tenteram, dan keluarga yang saling menghargai melahirkan rumah yang penuh kasih.
Tujuan Syariat: Menjaga Hal-Hal Pokok Kehidupan
Menurut al-Syāṭibī, hukum Allah tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga melindungi lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ لِحِفْظِ الضَّرُورِيَّاتِ وَالْحَاجِيَّاتِ وَالتَّحْسِينِيَّاتِ”
“Syariat datang untuk menjaga hal-hal yang bersifat primer, sekunder, dan pelengkap.” (al-Muwāfaqāt)
Coba kita lihat di sekitar kita. Saat narkoba merusak akal generasi muda, syariat menegaskan perlunya melindungi akal. Ketika korupsi merampas harta rakyat, syariat hadir untuk menjaga keadilan ekonomi. Dan ketika kekerasan merenggut jiwa, syariat berdiri tegak melindungi kehidupan.
Inilah bukti nyata bahwa hukum Islam selalu berorientasi pada kemaslahatan.
Syariat Sebagai Rahmat Bagi Alam Semesta
Syariat tidak hanya relevan bagi manusia, tetapi juga untuk seluruh semesta. Al-Syāṭibī menegaskan bahwa hukum Allah mengandung hikmah yang mendukung kelestarian kehidupan.
“وَالمَقْصُودُ مِنْ وَضْعِ الشَّرِيعَةِ إِنَّمَا هُوَ مَصَالِحُ الْعِبَادِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ”
“Tujuan ditetapkannya syariat adalah untuk kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat.” (al-Muwāfaqāt)
Di tengah isu lingkungan yang makin mengkhawatirkan di Indonesia—banjir, pencemaran udara, hingga hutan yang gundul—kita bisa belajar bahwa menjaga alam juga bagian dari maqāṣid al-sharī‘ah. Rahmat Allah bukan hanya untuk manusia, melainkan juga untuk bumi yang kita pijak.
Menemukan Kedamaian dalam Ketaatan
Pada akhirnya, mengapa hukum Islam selalu berkaitan dengan kemaslahatan? Karena Allah tidak menciptakan aturan untuk menakut-nakuti hamba-Nya. Aturan itu adalah undangan lembut agar manusia menemukan kedamaian.
Seperti kata Jalaluddin Rumi: “Jalan cinta tidak pernah mengurungmu, ia justru membebaskanmu dari penjara dirimu sendiri.” Begitu pula syariat: ia bukan kurungan, melainkan pintu kebebasan menuju Allah.
Hidup ini singkat, ibarat tetesan embun yang sebentar lagi lenyap. Maka, syariat adalah cara Allah menjaga agar hidup kita tidak sia-sia, agar langkah-langkah kecil kita membawa cahaya, bukan kegelapan.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
