Syariat dan tujuan hidup adalah dua kata kunci yang sering kita dengar, namun tidak selalu kita pahami maknanya. Sejak awal, manusia diciptakan untuk berjalan menuju Allah. Jalan itu terkadang terang, terkadang gelap, namun syariat hadir sebagai pelita. Al-Syāṭibī dalam al-Muwāfaqāt menyatakan bahwa hukum Allah tidak turun untuk membebani, melainkan untuk memberi arah.
Di Indonesia hari ini, banyak yang merasa agama hanya sebatas ritual. Namun, jika kita mau menyelami pemikiran al-Syāṭibī, kita akan melihat bahwa syariat adalah cinta Allah yang berwujud aturan. Ia adalah jembatan antara manusia dan tujuan hidup sejati: ridha dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Syariat Sebagai Cahaya di Tengah Kegelapan
Dalam hidup, kita sering terjebak pada nafsu, ambisi, dan godaan dunia. Al-Syāṭibī mengingatkan bahwa syariat hadir untuk membebaskan kita dari perbudakan diri sendiri.
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ إِنَّمَا وُضِعَتْ لِإِخْرَاجِ الْمُكَلَّفِ عَنْ دَاعِيَةِ هَوَاهُ حَتَّى يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ اخْتِيَارًا كَمَا هُوَ عَبْدٌ لَهُ اضْطِرَارًا”
“Syariat diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsunya, agar ia menjadi hamba Allah dengan pilihan, sebagaimana ia sudah menjadi hamba-Nya secara hakikat.” (al-Muwāfaqāt)
Kutipan ini terasa hidup ketika kita menyaksikan fenomena sosial di Indonesia: gaya hidup konsumtif, kecanduan media sosial, hingga maraknya perilaku koruptif. Tanpa syariat, manusia akan hanyut dalam arus gelap yang menelan dirinya.
Tujuan Syariat adalah Kemaslahatan
Al-Syāṭibī menekankan bahwa seluruh hukum Allah bertujuan menghadirkan maslahat. Maka, tidak ada hukum yang zalim, tidak ada aturan yang sia-sia. Semua membawa kebaikan.
“الشريعة كلها رحمة كلها عدل كلها مصالح كلها حكمة”
“Syariat seluruhnya adalah rahmat, seluruhnya adalah keadilan, seluruhnya adalah maslahat, dan seluruhnya adalah hikmah.” (al-Muwāfaqāt)
Dalam realitas sosial kita, aturan ini nyata. Ketika pedagang menerapkan kejujuran, ia meraih keberkahan. Ketika pemimpin berlaku adil, rakyat merasakan tenang. Saat keluarga menjaga amanah, rumah tangga penuh cinta. Inilah wajah syariat yang sering terlupakan: rahmat yang menyejukkan.
Menjaga Jiwa, Akal, dan Harta
Salah satu gagasan terbesar al-Syāṭibī adalah maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan syariat). Ia menyebut lima tujuan pokok: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tanpa lima hal ini, kehidupan manusia akan rusak.
“إِنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِحِفْظِ الضَّرُورِيَّاتِ وَالْحَاجِيَّاتِ وَالتَّحْسِينِيَّاتِ”
“Syariat datang untuk menjaga hal-hal yang bersifat primer, sekunder, dan pelengkap.” (al-Muwāfaqāt)
Kehidupan kita di Indonesia memberikan banyak cermin. Ketika narkoba merusak akal, ketika korupsi merampas harta rakyat, ketika konflik memecah keluarga dan keturunan, semua itu terjadi karena kita lalai menjaga tujuan syariat.
Syariat bukan sekadar teori di kitab, melainkan penuntun langkah sehari-hari. Ia hidup di pasar, di jalan raya, di rumah sederhana, bahkan di ruang kelas anak-anak kita.
Syariat Sebagai Jalan Cinta Menuju Allah
Seperti Rumi yang selalu berbicara tentang cinta, al-Syāṭibī pun melihat syariat sebagai ungkapan kasih Allah. Jika aturan itu kita hayati, maka ia akan terasa sebagai pelukan, bukan belenggu.
“المقصود من وضع الشريعة إخراج المكلف من داعية الهوى حتى يكون عبدًا لله”
“Tujuan syariat adalah agar manusia keluar dari belenggu hawa nafsu dan benar-benar menjadi hamba Allah.” (al-Muwāfaqāt)
Bukankah kita semua sedang mencari tujuan hidup? Bukan sekadar uang, jabatan, atau popularitas, melainkan ketenangan hati. Dan ketenangan itu hanya hadir ketika kita berjalan di jalan cinta Allah, jalan yang bernama syariat.
Menyulam Makna Hidup dengan Syariat
Syariat dan tujuan hidup bukanlah dua hal yang terpisah. Ia ibarat dua sayap yang membuat burung bisa terbang. Tanpa syariat, hidup kehilangan arah; tanpa tujuan hidup, syariat kehilangan makna.
Di tengah keresahan sosial, kita bisa kembali ke pesan al-Syāṭibī: syariat itu cahaya, rahmat, dan jalan cinta. Ia hadir bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menuntun manusia menemukan dirinya sendiri di hadapan Allah.
Hidup ini singkat. Seperti tetesan embun yang segera lenyap, kita pun akan berlalu. Maka, syariat adalah cara agar setiap detik perjalanan kita bermakna, agar langkah kita menuju cahaya, bukan menuju kegelapan.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
