SURAU.CO. Manusia memiliki naluri untuk dilihat dan diakui. Media sosial memperluas ruang untuk itu. Bukan hanya makanan atau destinasi wisata yang kemudian dipamerkan. Bahkan, ibadah—hubungan pribadi dengan Allah Swt—seringkali dipublikasikan. Unggahan shalat berjamaah, foto sedekah, selfi sedang membaca atau menghafal al-Qur’an hingga video doa menyebar di layar kita. Apa makna publikasi ibadah seperti ini?
Ibadah: Relasi Intim Hamba dan Pencipta
Islam mengajarkan bahwa ibadah adalah hubungan langsung. Hubungan antara hamba dan Rabb-nya. Rasulullah Saw menegaskan bahwa “Amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kualitas ibadah ditentukan keikhlasan hati dan ketulusan niat dasarnya, bukan oleh sorotan kamera atau viralitas di media.
Bahaya muncul ketika ibadah berubah arah. Dari mengharap ridha Allah menjadi mengharap pengakuan manusia alias validasi. Ini sebenarnya yang disebut dengan riya’ (memperlihatkan amal) dan sum’ah (memperdengarkan amal), namun semuanya kembali kepada niatnya. Terkait “amal” ini para ulama menyebutnya dengan syirik kecil dikarenakan bisa merusak pahala amalan.
Publikasi Ibadah: Membedakan Syiar dan Pamer
Tidak semua publikasi ibadah salah. Ada kalanya ia bisa bermanfaat untuk sesama. Laporan zakat dari lembaga filantropi bisa menumbuhkan kepercayaan publik. Hal itu juga mengajak orang lain bersedekah. Kisah haji atau umrah bisa menginspirasi orang lain untuk mengikuti dan momentum yang lain bisa memberikan warna positif kepada yang lain.
Namun, risiko pamer selalu mengintai. Selfie shalat malam, sedekah direkam, atau ekspresi doa yang dramatis menimbulkan kesan mencari perhatian. Apalagi jika unggahan itu meraih “likes” dan komentar. Publikasi ibadah berubah menjadi flexing rohani. Gaya hidup yang menilai ibadah dari citra bukan lagi ketulusan.
Teladan dari Nabi dan Sahabat: Menjaga Rahasia Amal
Rasulullah Saw mencontohkan pentingnya menjaga kerahasiaan amal. Dalam hadis, ada tujuh golongan mendapat naungan Allah Swt pada hari kiamat. Salah satunya orang yang bersedekah dengan tangan kanan, tangan kirinya tidak tahu. Itu gambaran tingginya nilai amal tersembunyi.
Para sahabat juga mempraktikkannya. Umar bin Khattab mendapati Abu Bakar sering menghilang di pagi hari. Ternyata Abu Bakar membantu nenek tua yang tidak berdaya. Semua itu tanpa sepengetahuan orang lain. Bahkan Umar baru mengetahuinya setelah mengamati. Amal paling indah adalah yang tidak diumumkan.
Konten Ibadah, Perlukah?
Di era media sosial, ibadah yang seharusnya sakral kini sering tampil di layar gawai: foto salat, video sedekah, hingga cerita khatam Al-Qur’an. Pertanyaannya sederhana tapi penting: untuk apa saya memublikasikan ibadah?
Hadis Nabi Saw mengingatkan:
“Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, yang membedakan syiar dari pencitraan ada pada hati. Data We Are Social (2024) mencatat lebih dari 170 juta pengguna media sosial di Indonesia, dan konten religius menjadi salah satu yang paling populer. Artinya, apa yang kita tampilkan tidak lagi hanya konsumsi pribadi, tapi publik luas.
Fenomena ini beragam. Ada gerakan “sedekah sampah” yang viral karena menginspirasi banyak daerah, atau program #BerbagiRamadhan yang menumbuhkan semangat berbagi. Namun, ada juga tren “sedekah on-cam” atau social experiment yang lebih menonjolkan pemberi ketimbang makna sedekah. Di sinilah refleksi dibutuhkan.
Refleksi Diri: Menjaga Niat dan Menemukan Makna
Oleh sebab itu, bila kita memang bernuat uploud content berkaitan dengan ibadah mala beberapa pegangan bisa kita ambil:
-
Luruskan niat. Publikasi wajar untuk syiar atau transparansi lembaga, tapi bila sekadar cari pujian, ia kehilangan makna.
-
Pilih konteks. Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 271) menegaskan, sedekah yang ditampakkan baik, namun yang disembunyikan sering lebih mulia.
-
Fokus pada pesan. Tampilkan nilai ibadah, bukan diri. Senyum penerima manfaat lebih kuat daripada potret pemberinya.
-
Seimbangkan terang dan gelap. Ada amal yang baik ditampakkan sebagai teladan, ada pula yang lebih indah jika hanya Allah yang tahu.
Refleksi ini penting karena publikasi ibadah ibarat pisau bermata dua. Ia bisa menumbuhkan semangat keagamaan, tapi juga bisa memicu kompetisi semu: siapa yang paling tampak saleh. Imam al-Ghazali mengingatkan, riya adalah penyakit hati yang halus, sering tak terasa.
Maka, tanggung jawab kolektif dibutuhkan antara dai, guru agama, hingga konten kreator perlu memberi teladan dengan menonjolkan nilai, bukan diri. Dengan begitu, publikasi amal tetap menjadi syiar yang menebarkan kebaikan.
Menyikapi Publikasi dengan Bijak
Kita perlu bijak sebagai audiens. Tidak semua orang yang mengunggah ibadah layak dicap riya. Kita tidak tahu isi hati seseorang bisa jadi itu kebiasaan. mungkin juga upaya tulus memberi inspirasi. Lebih baik ambil sisi baiknya dab meninggalkan yang tidak perlu.
Media sosial saat ini tak terhindarkan, ia adalah wajah zaman. Publikasi ibadah bisa menjadi syiar, tetapi juga bisa menjadi jebakan. Pilihan ada di tangan kita. Menjadikannya jalan menuju ridha Allah Swt, atau sekadar panggung pencitraan.
Bagi seorang Muslim, menjaga niat lebih penting daripada estetika postingan. Dunia maya hanyalah ruang sementara sementara tujuan akhir ibadah adalah surga nyata. Biarlah amal terbaik terjaga dalam kesunyian dan anya Allah yang tahu dan melihat isi hati manusia.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
