Namun, di balik kecanggihan itu, ada satu saldo yang tak pernah muncul di layar ponsel: saldo waktu. Kita tahu jumlah uang di dompet, tetapi tidak pernah tahu berapa jumlah hari di hidup kita. Kita bisa mengira-ngira arus kas, tapi tidak bisa menebak arus napas. Dan di situlah letak paradoks kehidupan: kita sering mengatur uang dengan cermat, tetapi membiarkan waktu mengalir tanpa arah.
Uang Bisa Dikalkulasi, Waktu Tidak
Uang bersifat kuantitatif. Ia bisa bertambah dengan bekerja lebih keras, menabung lebih rajin, atau berinvestasi lebih bijak. Kita bisa rugi hari ini dan untung esok hari. Namun waktu berbeda. Ia tidak bisa disimpan, tidak bisa dipercepat, dan tidak bisa diulang.
Setiap orang memiliki “jatah waktu” masing-masing. Ada yang diberi 20 tahun, ada yang 80 tahun, ada pula yang dipanggil lebih cepat. Bedanya dengan uang, waktu tidak memberi notifikasi ketika saldo kita menipis. Tidak ada “peringatan limit” seperti di ATM. Sering kali kita baru sadar bahwa saldo waktu hampir habis ketika tubuh sudah melemah, atau ketika mimpi-mimpi lama tak sempat lagi diwujudkan.
Di sinilah pentingnya kesadaran: uang bisa kembali, waktu tidak.
Mengapa Kita Sering Lupa dengan Saldo Waktu?
- Waktu bersifat abstrak. Uang tampak kasat mata, bisa dihitung, bisa disentuh. Sedangkan waktu hadir sebagai pengalaman yang tak berwujud. Kita hanya merasakannya lewat perubahan: hari berganti, rambut memutih, tubuh melemah.
- Kepastian ekonomi lebih terasa daripada kepastian hidup. Orang bisa membuat anggaran keuangan, tetapi sulit membuat “anggaran umur.” Tidak ada yang tahu kapan ajal datang, sehingga kita menutup mata dari hal itu.
- Budaya materialistis. Dunia modern menilai keberhasilan dari kepemilikan harta, bukan dari bagaimana seseorang menggunakan waktunya. Akibatnya, orang rela menukar sebagian besar waktunya hanya untuk mengejar angka di rekening.
Padahal, jika direnungkan lebih dalam, apa artinya uang tanpa waktu untuk menikmatinya?
Mengenali Pola: Audit Waktu Pribadi
Kalau keuangan bisa diaudit, waktu pun bisa. Bedanya, kita tidak menghitung saldo waktu yang tersisa, tetapi mengamati bagaimana kita menggunakannya.
Cobalah lakukan audit waktu pribadi selama tujuh hari. Catat aktivitas harian: berapa jam tidur, berapa jam bekerja, berapa jam untuk keluarga, berapa jam yang habis hanya untuk scroll media sosial. Dari situ, kita akan menemukan pola.
Mungkin kita akan terkejut ketika menyadari betapa banyak waktu bocor tanpa terasa. Dua jam sehari untuk hal remeh, dalam setahun berarti 730 jam. Itu sama dengan satu bulan penuh waktu hidup yang hilang sia-sia.
Audit waktu membuat kita sadar: saldo waktu memang tak bisa diketahui, tapi cara menggunakannya bisa diperbaiki.
Membuat Neraca Kehidupan
Mari bayangkan hidup kita seperti laporan keuangan. Ada kolom pemasukan, ada kolom pengeluaran, ada kolom investasi.
- Pemasukan waktu: setiap hari kita mendapat “modal” 24 jam, sama rata bagi semua orang.
- Pengeluaran waktu: tidur, kerja, makan, perjalanan, hiburan, dan rutinitas kecil lainnya.
- Investasi waktu: hal-hal yang menumbuhkan hidup dalam jangka panjang — belajar, menjaga kesehatan, membangun relasi, beribadah, dan berkarya.
Sayangnya, banyak orang terjebak hanya pada “pengeluaran” tanpa investasi. Hari demi hari dihabiskan untuk rutinitas, tanpa ada upaya memperkaya jiwa. Sama seperti orang yang hanya bisa bertahan hidup dari gaji bulanan tanpa pernah menabung, kita bisa bangkrut waktu jika tidak tahu cara menginvestasikannya.
Tiga Pertanyaan Kecil yang Mengubah Pandangan
- Jika hidupku hanya tersisa satu tahun, apa yang paling ingin kuselesaikan?
- Jika aku punya 10 tahun lagi, apa yang ingin kucapai?
- Jika aku bisa hidup hingga tua, warisan nilai apa yang ingin kutinggalkan?
Pertanyaan ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memperjelas prioritas. Banyak orang tahu cara mencari uang, tapi tidak tahu untuk apa uang itu dipakai. Dengan mengingat keterbatasan waktu, kita dipaksa memilih hal-hal yang benar-benar penting.
Menghargai Waktu: Dari Filosofi ke Praktik
- Aturan dua menit. Jika ada hal yang bisa dikerjakan kurang dari dua menit, lakukan sekarang juga.
- Proteksi pagi. Jangan biarkan notifikasi menguasai jam pertama setelah bangun.
- Prioritas harian. Tentukan satu hal paling penting untuk diselesaikan sebelum hal-hal kecil merebut perhatian.
- Review mingguan. Setiap akhir pekan, lihat kembali: apa yang sudah terpakai baik, apa yang terbuang percuma.
Dengan disiplin sederhana ini, kita perlahan belajar menabung makna di dalam saldo waktu.
Memento Mori: Ingatlah Akan Mati
Di tradisi filsafat Stoik maupun ajaran spiritual berbagai agama, ada satu kalimat yang selalu diulang: memento mori — ingatlah bahwa kamu akan mati.
Kalimat ini bukan ajakan untuk murung, melainkan pengingat bahwa hidup ini fana. Menyadari kematian justru membuat kita lebih hidup, karena kita tahu setiap jam adalah hadiah yang tidak selalu datang lagi.
Bayangkan jika tiap pagi, kita melihat saldo waktu di layar ponsel: “Sisa hidup Anda: 14.237 hari.” Bagaimana kita akan menjalani hari itu? Apakah masih akan menunda-nunda mimpi, atau lebih berani mengambil langkah?
Karena kita tidak pernah tahu angkanya, maka satu-satunya pilihan bijak adalah menganggap hari ini sebagai saldo terakhir.
Kesimpulan: Uang Bisa Dicari, Waktu Tidak
Pada akhirnya, uang hanyalah alat tukar. Waktu adalah hidup itu sendiri. Kita bisa menukar waktu dengan uang, tapi tidak bisa menukar uang dengan waktu.
Kesadaran akan saldo waktu seharusnya menuntun kita untuk lebih berhati-hati, lebih sederhana, dan lebih berani mengambil keputusan penting. Jangan menunggu “saldo habis” baru sadar bahwa kita terlambat.
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1–3)
Imam Syafi’i pernah berkata, “Seandainya manusia merenungkan surah ini saja, niscaya sudah cukup sebagai pegangan hidup.” Karena seluruh rahasia kehidupan terangkum di dalamnya: waktu adalah modal, dan kerugian terbesar bukanlah kehilangan uang, melainkan kehilangan kesempatan untuk beriman, beramal baik, serta menebar kebaikan di dunia.
Maka, hari ini mari kita bertanya pada diri sendiri:
“Jika aku tahu saldo waktuku tinggal sedikit, apakah aku sudah hidup dengan benar?”
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
