Surau.co. Di warung kopi kampung saya, obrolan tentang pajak sering berakhir dengan keluhan. Banyak orang merasa negara memalak, sementara sebagian lain penasaran: “Lha uang pajak itu sebenarnya ke mana, to?” Pertanyaan sederhana ini menohok. Pajak seolah hanya beban, bukan amal sosial. Padahal sejak berabad-abad lalu, Abū Yūsuf, seorang ulama besar, menulis kitab al-Kharāj. Dalam kitab itu, ia menjelaskan bahwa pajak bisa menjadi jalan menuju keadilan jika pemimpin mengelolanya dengan transparansi dan amanah.
Kitab itu hadir bukan sekadar panduan ekonomi, melainkan pedoman etika. Abū Yūsuf menekankan: pemimpin wajib memandang pajak sebagai amanah, bukan sebagai alat menindas rakyat.
Pajak Bukan Pemerasan, Tapi Keadilan
Dalam al-Kharāj, Abū Yūsuf menegaskan:
«إِنَّمَا الْخَرَاجُ وَالْجِزْيَةُ فَرْضٌ لِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ، لَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَهُ فِي غَيْرِ ذَلِكَ»
“Sesungguhnya pajak dan jizyah itu diwajibkan untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Tidak boleh bagi pemimpin menggunakannya selain untuk itu.”
Coba bayangkan, jika pejabat di negeri ini benar-benar memegang pesan itu, rakyat tentu membayar pajak dengan ikhlas. Mereka tahu uang yang keluar dari kantong kembali hadir untuk kepentingan bersama, bukan untuk mengisi dompet pribadi.
Transparansi Membuat Rakyat Lega
Sebagai contoh, kita sering mendengar cerita sumbangan masjid yang hilang tanpa jejak. Setelah itu, jamaah pun enggan memberi lagi. Fenomena serupa muncul dalam pajak. Ketika pejabat gagal menunjukkan transparansi, rakyat merasa dipermainkan.
Padahal al-Qur’an menegaskan:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا﴾ (النساء: 58)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
Ayat ini sederhana tetapi tegas: pajak adalah amanat. Jika pemimpin menunaikannya dengan jujur, rakyat akan merasa ikut menanam kebaikan.
Pajak untuk Jembatan dan Jalan
Abū Yūsuf menulis dengan jelas:
«يُنْفَقُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فِي الْقَنَاطِرِ وَالطُّرُقِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَا يَصْلُحُ لِلْمُسْلِمِينَ»
“Dari Baitul Mal dibelanjakan untuk jembatan, jalan, masjid, dan hal-hal yang bermanfaat bagi kaum Muslimin.”
Kalau kita melihat Indonesia hari ini, jalan rusak dibiarkan terbengkalai, sementara anggaran justru habis untuk proyek mercusuar. Sebaliknya, sebuah jembatan kecil di desa bisa memberi manfaat jauh lebih besar daripada gedung mewah di kota. Dengan kata lain, prioritas anggaran menentukan rasa keadilan.
Rakyat Tak Butuh Janji, Butuh Bukti
Dalam al-Kharāj, Abū Yūsuf menulis:
«إِنَّ الْعَدْلَ فِي الْمُلْكِ أَبْقَى لَهُ وَأَصْلَحُ لِأَهْلِهِ»
“Sesungguhnya keadilan dalam pemerintahan membuatnya lebih langgeng dan lebih baik bagi rakyatnya.”
Keadilan yang ia maksud bukan sekadar slogan kampanye. Ia menuntut bukti nyata, misalnya pengelolaan pajak yang transparan. Ketika rakyat melihat uang pajak dipakai untuk sekolah gratis, rumah sakit layak, dan bantuan fakir miskin, rasa ikhlas tumbuh otomatis.
Dari Warung Kopi ke Ruang Anggaran
Seorang bapak tua di kampung pernah berkata kepada saya, “Kalau uang pajak untuk bangun jalan kampung, ya saya bayar senang hati. Tapi kalau untuk kantong pejabat, yo ndak usah.” Kalimat sederhana itu merangkum inti ajaran al-Kharāj: pemimpin harus adil dan transparan agar rakyat mau berpartisipasi.
Lebih dari itu, Nabi ﷺ juga berdoa:
«اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ»
“Ya Allah, siapa yang menjadi pemimpin umatku lalu menyulitkan mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjadi pemimpin umatku lalu memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan: pemimpin menanggung beban moral yang berat. Jangan sampai rakyat menanggung derita, sementara hasil pajak hilang tanpa kembali.
Penutup: Ikhlas Lahir dari Keadilan
Akhirnya, al-Kharāj mengingatkan kita bahwa pajak tidak berhenti pada angka. Ia menyentuh nurani. Transparansi menjadi jembatan keikhlasan. Jika pemimpin mengelola pajak secara adil, rakyat membayar dengan senyum, bukan dengan keluhan.
Karena itu, negeri ini lebih membutuhkan keberanian moral daripada aturan baru. Mari kembali ke nurani: menjadikan pajak sebagai amanat, bukan bancakan.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
