Surau.co. Uang pajak dalam Islam tidak pernah dimaksudkan sebagai beban yang mencekik. Dalam pandangan Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī melalui kitab al-Kharāj, pajak berfungsi sebagai instrumen penting yang harus dikelola dengan adil demi kemaslahatan rakyat. Dari pajak itulah negara bisa mengurus rakyat, dan dari sanalah seharusnya senyum orang kecil lahir.
Pajak sebagai Cermin Harapan
Di Indonesia, kata “pajak” seringkali memicu keluhan. Orang membayar pajak, tetapi jalan rusak tetap terbuka, rumah sakit sesak, dan sekolah masih meminta pungutan tambahan. Pada titik inilah al-Kharāj menawarkan pencerahan: pajak wajib masuk ke Baitul Māl dan pemerintah harus mengelolanya sebagai amanah, bukan bancakan penguasa.
Selain itu, pajak seharusnya hadir sebagai jembatan harapan, bukan sumber kekecewaan.
Suara Rakyat dari Pinggir Jalan
Saya pernah berbincang dengan seorang tukang becak di alun-alun. Ia berkata, “Pajak motor, pajak tanah, semua saya bayar. Tapi lampu jalan mati, anak saya kalau sakit antre berjam-jam di puskesmas.” Kalimat sederhana itu menyayat hati, sebab ia menunjukkan jurang antara janji dan kenyataan.
Abū Yūsuf mengingatkan dalam al-Kharāj:
“الأموال تجمع لمصالح المسلمين، لا للهو الأمراء”
“Harta dikumpulkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, bukan untuk hiburan para penguasa.”
Dengan demikian, pajak yang diserahkan rakyat harus tampil sebagai wujud harapan. Harapan agar hidup terasa lebih layak, agar anak-anak bisa sekolah tanpa dihantui biaya.
Amanah Baitul Māl
Al-Qur’an menegaskan:
“إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤدُّوا ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا” (QS. An-Nisā’: 58)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
Amanah itu, dalam konteks negara, termasuk pajak.
Abū Yūsuf menulis dengan tegas:
“على الوالي أن يتقي الله في بيت المال، فلا ينفقه إلا بحق”
“Penguasa wajib bertakwa kepada Allah dalam mengelola Baitul Māl dan membelanjakannya hanya pada hal yang benar.”
Oleh karena itu, Baitul Māl tidak boleh dipandang sebagai kas pribadi. Ia merupakan milik rakyat, tempat kepercayaan dititipkan, sehingga penguasa berkewajiban menjaganya dengan transparansi dan keadilan.
Pajak yang Membebaskan Rakyat
Sejarah Islam juga mencatat bahwa pajak yang adil menumbuhkan loyalitas rakyat. Ketika manfaat pajak benar-benar dirasakan, orang membayar dengan ikhlas. Sebaliknya, bila pajak lenyap di perjalanan, rakyat segera kehilangan kepercayaan.
Dalam al-Kharāj, Abū Yūsuf menulis:
“إن العدل في الأموال سبب بقاء الدولة، والظلم سبب زوالها”
“Sesungguhnya keadilan dalam harta menjadi sebab tegaknya negara, sementara kezaliman menjadi sebab keruntuhannya.”
Oleh sebab itu, pesan ini sangat relevan bagi Indonesia hari ini. Rakyat menuntut bukti nyata, bukan sekadar janji. Pajak harus kembali dalam bentuk fasilitas, pelayanan, dan rasa aman.
Dari Harapan ke Senyum Rakyat
Bayangkan bila pajak benar-benar mengalir jernih ke Baitul Māl dan digunakan sebagaimana mestinya. Jalan desa akan bebas dari becek, sekolah bisa digratiskan tanpa pungutan, dan rumah sakit dapat melayani tanpa pilih kasih.
Abū Yūsuf menambahkan pesan lembut:
“واجب على الإمام أن يرعى مصالح رعيته كما يرعى الوالد ولده”
“Wajib bagi seorang pemimpin menjaga kemaslahatan rakyatnya sebagaimana seorang ayah menjaga anaknya.”
Dengan kata lain, penguasa yang adil akan membuat rakyat merasa aman dan terlindungi, bukan ditindas.
Menjadi Negara yang Membahagiakan
Di negeri ini, jargon “pajak untuk pembangunan” sering terdengar. Namun rakyat tetap menunggu bukti nyata. Kitab al-Kharāj bisa menjadi pengingat: pajak sejatinya ibadah sosial, bukan sekadar angka di APBN. Pajak harus dikelola dengan hati, sehingga melahirkan rasa percaya.
Akhirnya, bila amanah ini terjaga, pajak tidak lagi menakutkan. Sebaliknya, ia akan menjadi jembatan menuju kesejahteraan. Dari pajak mengalir ke Baitul Māl, dari amanah lahir senyum rakyat—itulah jalan yang diwariskan para ulama.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
