Opinion
Beranda » Berita » Jangan Takut Jadi Minoritas, Negara Harus Lindungi Semua

Jangan Takut Jadi Minoritas, Negara Harus Lindungi Semua

Pemimpin melindungi minoritas dan rakyat kecil dalam Islam
Ilustrasi filosofis tentang pemimpin yang merangkul semua rakyat, baik mayoritas maupun minoritas.

Surau.co. Di tengah riuh kehidupan sosial Indonesia, kita sering mendengar keluh kesah kelompok kecil—minoritas agama, etnis, atau bahkan profesi. Banyak yang merasa hidup sebagai warga kelas dua, seakan-akan keberadaan mereka hanya ditoleransi, bukan dihargai. Padahal, sejak ratusan tahun lalu, kitab al-Kharāj karya Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī sudah mengajarkan: negara sejatinya hadir bukan hanya untuk mayoritas, melainkan juga untuk yang lemah, miskin, dan minoritas. Kitab ini mengajarkan perlindungan minoritas dalam Islam.

Frasa kunci perlindungan minoritas dalam Islam tercermin jelas sejak bab awal kitab tersebut. Abū Yūsuf, murid utama Imam Abū Hanīfah, menulis dengan nada tegas tapi lembut, bahwa kekuasaan sejati bukan menguasai, melainkan melindungi.

Jejak Sejarah yang Membuka Mata

Al-Kharāj bukan sekadar buku pajak atau fiskal Islam. Kitab ini memuat filosofi dasar bahwa negara tidak boleh bersikap zalim kepada rakyatnya. Abū Yūsuf bahkan mengingatkan Khalifah Hārūn al-Rashīd agar menghapus kewajiban jizyah bagi orang miskin, orang tua, dan mereka yang lemah.

Ia menulis:

“لا تؤخذ الجزية من الشيخ الكبير ولا من الفقير ولا من المرأة”
“Jangan dipungut jizyah dari orang tua renta, orang miskin, dan perempuan.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Kalimat sederhana itu, diulang hingga kini, terasa seperti tamparan bagi birokrasi modern yang sering lupa pada rasa kemanusiaan. Bukankah negara mestinya menjadi pelindung, bukan pemalak?

Dari Bilik Warung Kopi hingga Balai Desa

Saya teringat percakapan di warung kopi kecil dekat rumah. Seorang bapak buruh bangunan berkata, “Kami ini bayar pajak motor saja kadang ngos-ngosan, tapi kok yang besar-besar malah gampang lolos.” Ucapannya bikin saya merenung, ternyata keresahan rakyat kecil hari ini mirip dengan suara yang pernah ditulis Abū Yūsuf lebih dari seribu tahun lalu.

Dalam al-Kharāj, beliau juga menyebut:

“على الإمام أن ينظر في أمر رعيته، ويعطي كل ذي حق حقه”
“Seorang pemimpin wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memberikan setiap orang haknya.”

Ini bukan sekadar fatwa fiqh, melainkan nasihat abadi: negara tidak boleh buta terhadap suara rakyat kecil.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Minoritas Bukan Ancaman, Tapi Amanah

Di Indonesia, kata “minoritas” sering jadi bahan kampanye atau komoditas politik. Ada yang menjadikannya alasan untuk menebar ketakutan, ada pula yang memanfaatkannya demi simpati. Padahal, bagi Abū Yūsuf, minoritas bukan ancaman, melainkan amanah.

Beliau menulis:

“إن العدل أساس الملك، ولا يستقيم الملك مع الظلم”
“Sesungguhnya keadilan adalah dasar kekuasaan, dan tidak akan tegak kekuasaan dengan kezaliman.”

Kata-kata itu mengingatkan kita, keutuhan bangsa tidak dibangun oleh seragamnya keyakinan, melainkan oleh tegaknya keadilan. Minoritas, sebesar apapun jumlahnya, berhak atas rasa aman dan keadilan.

Islam Menjawab Rasa Takut

Al-Qur’an sudah memberi pedoman:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

“وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ” (QS. Al-Māidah: 8)
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”

Ayat ini seakan melengkapi nasihat al-Kharāj: adil itu bukan pilihan, melainkan syarat tegaknya negara.

Di bagian lain kitab, Abū Yūsuf menegaskan:

“الإمام راعٍ وهو مسؤول عن رعيته”
“Pemimpin adalah penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”

Kalimat itu serupa dengan hadis Nabi Muhammad ﷺ: “Kullukum rā‘in wa kullukum mas’ūl ‘an ra‘iyyatihi.” — setiap kita pemimpin, dan setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban.

Menyulam Pesan untuk Indonesia

Fenomena diskriminasi, entah kepada kelompok adat, agama kecil, atau komunitas rentan lainnya, masih terasa di Indonesia. Namun, bila kita jujur, ajaran Islam melalui al-Kharāj memberi panduan jelas: jangan takut jadi minoritas, karena negara sejatinya adalah rumah semua.

Kalau orang tua miskin di Baghdad abad ke-8 saja sudah dilindungi lewat kitab pajak Islam, masak sih warga desa kecil di Indonesia abad ke-21 masih merasa tidak punya tempat?

Menutup catatan ini, mari kita resapi pesan al-Kharāj: negara itu bukan milik mayoritas, tapi milik semua. Karena keadilan hanya bisa disebut adil bila menyentuh yang lemah, minoritas, dan tak berdaya.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tullunggung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement