Ketika mendengar kata jizyah, sebagian orang langsung teringat dengan cerita-cerita tentang beban bagi non-muslim di masa lalu. Namun, kalau kita membaca Kitab al-Kharāj karya Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī, ternyata ada hal yang sering luput: Islam justru peka terhadap kondisi sosial. Orang miskin, orang tua, perempuan, bahkan anak-anak tidak dibebani jizyah.
Di Indonesia hari ini, keluhan soal pungutan masih sering terdengar. Mulai iuran RT, pajak kendaraan, hingga tarif listrik. Seorang tukang parkir di pasar pernah berseloroh, “Kita ini bayar terus, tapi jalan ke rumah tetap rusak.” Rasa was-was seperti itu juga pernah muncul dalam sejarah, hingga Abū Yūsuf menegaskan bahwa negara tidak boleh sewenang-wenang.
Jizyah Sebagai Kontrak Perlindungan
Abū Yūsuf menulis Kitab al-Kharāj untuk Khalifah Hārūn al-Rashīd. Pesannya sederhana: jangan sampai penguasa menindas rakyat. Jizyah bukanlah pajak semata, melainkan bentuk kontrak perlindungan.
“إِنَّمَا فُرِضَتِ الْجِزْيَةُ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ مُقَابِلَ حِمَايَتِهِمْ وَكَفَايَتِهِمْ”
“Sesungguhnya jizyah itu diwajibkan atas ahlu dzimmah sebagai imbalan perlindungan dan pemeliharaan terhadap mereka.”
Jadi jizyah bukan alat penindasan, tapi simbol bahwa negara menjaga semua warganya, meski berbeda agama.
Pengecualian untuk yang Lemah
Salah satu poin penting dari Kitab al-Kharāj adalah adanya pengecualian. Abū Yūsuf menegaskan:
“لَا جِزْيَةَ عَلَى النِّسَاءِ وَلَا عَلَى الصِّبْيَانِ وَلَا عَلَى الْفُقَرَاءِ وَلَا عَلَى الشُّيُوخِ”
“Tidak ada jizyah atas perempuan, anak-anak, orang miskin, dan orang tua yang renta.”
Aturan ini menunjukkan betapa Islam memperhatikan kondisi sosial. Bayangkan, di masa lampau ketika kekuasaan bisa saja berlaku keras, ternyata ada aturan detail yang melindungi kelompok lemah.
Pelajaran untuk Kehidupan Kita
Kalau kita tarik ke realitas Indonesia, sebenarnya mirip dengan konsep pajak penghasilan modern. Negara hanya menarik pajak dari mereka yang sudah memenuhi batas penghasilan tertentu. Orang yang hidup pas-pasan tidak dipaksa.
Seorang ibu di kampung pernah bilang, “Kalau semua harus bayar, orang miskin mau makan apa?” Pertanyaan itu sederhana tapi menyentil. Dan ternyata, Abū Yūsuf sudah menulis jawabannya lebih dari seribu tahun lalu: jangan bebani yang lemah.
Larangan Memberatkan Rakyat
Selain pengecualian, ada pesan tegas agar penguasa tidak menambah beban di luar aturan.
“لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَأْخُذَ أَكْثَرَ مِمَّا فُرِضَ”
“Tidak halal bagi penguasa mengambil lebih dari yang telah ditetapkan.”
Kalimat ini seperti menegur praktik pungutan liar yang kadang masih marak di negeri kita. Dari pos parkir tak resmi, sampai iuran sekolah yang memberatkan. Pesannya jelas: pungutan harus proporsional dan transparan.
Islam Menjaga Martabat Non-Muslim
Jizyah juga sering dipelintir seolah bentuk diskriminasi. Padahal, tujuannya justru menjaga martabat non-muslim dengan memberi mereka hak perlindungan penuh dari negara. Nabi Muhammad ﷺ bahkan bersabda:
“مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَقَدْ آذَانِي” (رواه الطبراني)
“Barang siapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia telah menyakitiku.”
Hadis ini menegaskan bahwa non-muslim pun mendapat posisi terhormat dalam masyarakat Islam.
Islam Itu Peka, Jangan Lupa
Kitab al-Kharāj memberi pelajaran berharga: sistem keuangan negara harus berpihak pada keadilan sosial. Yang lemah dilindungi, yang kuat membantu. Aturan jelas, tanpa ruang bagi kesewenang-wenangan.
Di tengah hiruk-pikuk kebijakan fiskal hari ini, pesan itu terasa relevan. Jangan sampai negara yang mestinya melindungi malah membuat rakyat kecil menangis. Karena, Islam sejak awal sudah mengingatkan: orang miskin dan orang tua nggak perlu bayar jizyah, sebab Islam itu peka.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
